Cerpen: Menyambut Ramadan di Kampung
Hai, Sobat Guru Penyemangat. Marhaban Ya Ramadhan ya!
Alhamdulillah wa syukurillah, Ramadhan kembali menyapa dengan fajar, senja, serta gema kalimatullah yang begitu indahnya.
Jelang Ramadhan, biasanya banyak dari kita yang ingin merasakan keseruan, keceriaan, serta kenyamanan berpuasa di kampung, kan?
Nah berikut Guru Penyemangat sajikan cerita pendek tentang perasaan suka cita dalam menyambut bulan Ramadhan di kampung.
Mari disimak ya:
Cerpen: Menyambut Ramadan di Kampung
Oleh: Sri Rohmatiah Djalil
Cerpen: Menyambut Ramadan di Kampung. Gambar oleh Ahmed Sabry dari Pixabay |
“Cepat kembali ya, Sobat!” Terdengar teriakan Anto. Aku hanya melambaikan tangan sambil terus berlari menuju pintu keberangkatan.
Setelah menunjukkan kartu tanda penduduk dan secarik tiket tujuan Madiun, aku bergegas memasuki gerbong kereta yang siap berangkat.
Napasku terengah-engah mengejar jam pemberangkatan, “Ini gara-gara kemacetan yang tak pernah usai,” gumamku. “Kenapa menyalahkan hiruk pikuk kota? seharusnya penghuni kota sadar sendiri mengatur waktu, kita gak bisa mendadak jadi polisi untuk mengurai kemacetan,” batinku lagi pada diri sendiri.
Kubanting tubuh ke atas jok yang lumanyan empuk untuk ukuran tubuhku yang langsing. Namun, tiba-tiba seseorang mengusir dengan halus.
“Permisi, Mas, ini tempat duduk saya, kamu salah duduk.”
“Ini tiketnya, kamu yang salah kali,” seruku menunjukkan tiket kepada seorang remaja putri yang berdiri di samping kursi.
“Gerbong sebelah, Mas,” jawab gadis itu.
Dengan menahan malu, aku pun beranjak meninggalkan kursi itu setelah minta maaf. Ada perasaan kesal meninggalkan kenyamanan duduk di gerbong eksekutif subclass A.
Nyaman duduk di kursi yang telah diboking orang lain? Ups … aku menepuk jidat seakan ada nyamuk menempel.
Kereta berjalan cepat seperti pikiranku yang melesat jauh ke kampung halaman. Ingat Bapak, Ibu, saudara, sahabat.
Dua tahun yang lalu, orang tuaku mengirim ke rumah Pak Lek untuk sekolah di Jakarta. Katanya biar mudah melanjutkan kuliah di UI.
Ah itu hanya kompromi Bapak dan Pak Lek karena Tante, istrinya Pak Lek belum memiliki anak. Aku dijadikan anak angkatnya, katanya untuk pancingan.
Konon pancingan agar memiliki bayi harusnya adopsi bayi baru lahir, bukan anak SMA sepertiku. Ada-ada saja ide Tante.
Namun, ide Tante membawa berkah, aku sekarang jadi anak kota, bukan deso lagi, tetapi kehilangan momen indah di desa, seperti menjelang Ramadan, ngabuburit, berburu tanda tangan dari penceramah.
Di desa setiap menjelang Ramadan ada tradisi kendurenan. Emak akan menyuruhku membawa nasi di ceting atau dus nasi isi lauk pauk dibawa ke masjid.
Ba’da salat Ashar, warga akan berbondong-bondong membawa nasi cetingnya masing-masing.
Setelah tidak ada lagi yang harus ditunggu, Pak Haji, ketua takmir akan membaca doa tahlil untuk nenek buyut, warga desa yang telah meninggal.
Juga mendoakan keselamatan seluruh warga. Sekitar setengah jam doa dibacakan imam, warga mengikuti dengan hidmat. Nasi pun dibagikan kembali kepada warga untuk dibawa pulang.
Anak-anak biasanya memilih ceting yang bagus atau kotak nasi yang ada label rumah makannya, berharap isinya ayam panggang.
Namun, sering kali kecele, kotaknya gambar ayam jumbo, isinya telur jumbo. Kami yang masih anak-anak tertawa riang, bukan menertawakan rezeki yang kami dapatkan, tetapi lucu saja.
Terkadang muncul ide gila, menyuruh emak melakukan hal yang sama, tetapi ibu semata wayang ini akan mengatakan kalau sedekah harus ikhlas. Dapatnya telur, sama-sama rezeki yang harus disyukuri.
Ketika tadarus pun demikian, anak-anak berburu tajil, gelas plastik warna warni yang disiapkan pengurus masjid untuk jamaah, sudah dipegang anak-anak.
Warna kuning milikku, warna hijau punyaku, padahal sama-sama tahu itu inventaris masjid.
Sesekali kereta berhenti di stasiun besar, penumpang silih berganti, ada yang turun ada juga yang naik, ada pula yang keluar gerbong sekadar mengisap rokok atau menghilangkan penat.
Aku tidak tertarik untuk turun, pikiranku tak ingin beranjak dari kampung.
“Tempe mendoan, Mas,” tawar seseorang di sebelah menyodorkan tempe goreng.
Tempe mendoan khas Purwokerto, itu artinya lima jam lagi akan sampai stasiun Madiun dan aku akan segera bertemu Yudi.
Kami pun akan main kembang api untuk menyambut Ramadan dan malamnya akan keliling kampung membangunkan warga untuk sahur.
Aku menggelengkan kepala tanda menolak tempe mendoan yang ditawarkan tadi. Kereta perlahan meninggalkan stasiun Purworkerto.
Aku pun bersiap menyambut datangnya Ramadan dengan suka cita di kampung halaman.*
Lanjut Baca: Kumpulan Pantun Tentang Puasa Ramadhan Islami
Posting Komentar untuk "Cerpen: Menyambut Ramadan di Kampung"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)