Cerpen Disabilitas: Kemenangan Ramadhan dalam Keterbatasan
Cerpen: Kemenangan Ramadhan dalam Keterbatasan
Oleh Devani Imario Putri
Cerpen Disabilitas Kemenangan Ramadhan dalam Keterbatasan. Source: Jangkau.id |
Panah melesat dan menancap tepat di tengah titik sasaran meski suasana semakin meredup karena hanya pijar lampu di pojok tanah lapang yang menerangi.
Setelah menarik busur seiring tarikan hembusan napas lega yang beradu dengan angin, perempuan itu tersenyum tulus lalu menengok ke arah sumber suara yang memanggilnya.
“Kak Rahmah, ayo berbuka puasa dulu! Ini kita bawakan takjil, alhamdullilah dapat di jalan waktu ada bagi-bagi takjil!” Rahim bersuara riang dengan tawa renyah serta kopyah miringnya yang khas.
“Sini, kami tunggu di meja taman, ya!” Perempuan bernama Husnul sedikit berteriak sambil menggoyangkan kantong di tangannya. Ia berdiri di seberang lapangan.
“Terima kasih banyak, di mana Ramadhan? kok dia tidak ikut datang?”
Rahmah mengamati dari jauh teman-temannya dan merasa kurang ada sosok usil yang tidak bersandar di samping tiang lampu seperti biasanya.
Suara Rahmah sedikit menggema sambil dia melintasi lapangan untuk menghampiri teman-temannya.
“Kita bahas itu nanti saja sambil bukber karena kalau ingat si Ramadhan bakal bikin mewek!” Rahim memasang wajah mewek dan sesenggukan tanpa air mata.
“Ih, kasihan tau! dasar keterlaluan! Belum mengalami seperti Ramadhan, ya gini! nih, rasain! Biar tahu rasa kamu!”
Husnul mengomel dan menoyor beberapa kali kepala Rahim lalu merunduk dan ngumpet di balik Rahmah untuk meminta perlindungan.
Belum selesai Rahma bertanya dan keheranan akan jawaban tentang keberadaan Ramadhan, Rahim mengadu sakit lalu berusaha balas dendam dan menyerang balik.
Untungnya berhasil dilerai Rahmah sebelum ada adegan tindak kekerasan laki-laki ke perempuan lagi atau sebaliknya.
“Kalian berantemnya harus sekarang apa? Tadi disuruh cepat-cepat bukber! ayo, sini mau ngelawan, Him?”
Rahmah berkata lantang sambil mengarahkan busur panah ke adik laki-lakinya itu yang mirip mendiang Ayahnya.
Rahim bergeming seketika lalu membimbing kakaknya dan Husnul ke arah taman dan langsung menata hidangan takjil.
Ia pun mempersilakan kakaknya dan teman menjengkelkannya itu dengan tersenyum segan. Menghargai dan melindungi perempuan batinnya terngiang pesan Bapak dalam hati yang terpaksa menyeruak.
Husnul merasa aman dan melempar senyum kemenangan lantaran berhasil menggoda kesabaran Rahim lalu mereka bertiga pun mengawali sesi berbuka puasa dengan doa bersama yang berjalan khidmat dan nikmat.
Mereka kemudian mulai membuka cerita soal Ramadhan yang tumben-tumbenan tak ikut nampang bersama setelah menunggu Rahim mengembalikan sarung ke masjid usai tunaikan sholat Maghrib.
“Jadi, Ramadhan kok tumben tidak ikut bersama kalian, sih? jangan-jangan dia ada pertandingan renang nggak kabar-kabar! kebiasaan!”
Rahmah cemberut lalu menggelengkan kepalanya namun sejurus kemudian bertepuk tangan.
Rahmah memang selalu kagum dan memuji kelihaian dan kegigihan Ramadhan di cabang olahraga akuatik dengan menerjang gelombang air kolam itu.
Ia seolah melihat Ramadhan mengarungi lautan mimpinya tanpa batas walau berulang kali tenggelam dan terhempas bak air bah.
“Kak Rahmah..., maaf baru kasi tahu ini, Ramadhan kecelakaan, kakinya harus diamputasi.”
Boleh Baca: Cerpen Pelari Kaki Satu
Rahim memberanikan diri untuk mengungkap semuanya setelah menelan ludah.
Sebagaimana di awal ia sudah mengisyaratkan hati sang kakak bahwa cerita Ramadhan bakal bikin mewek bukanlah merupakan suatu topik percakapan untuk bercanda.
“Maaf, kita tidak mau ganggu konsentrasi Kakak ikut di ajang paralimpiade seminggu lalu, kami menyembunyikan ini dari Kakak sesuai amanah Ramadhan sebelum Kakak pulang kembali ke sini. Selamat atas kemenangan Kakak!”
Kini giliran Husnul berdialog dengan nada sendu dan tiba-tiba menggenggam tangan Rahmah menguatkan.
Rahmah termangu, ditatapnya busur panah yang tergeletak di meja kayu lalu menarik napas panjang
Lafal istigfar pertama kali meluncur halus dari mulutnya disusul cecaran kalimat menggebu-gebu seolah menuntut penjelasan dari takdir dan nasib yang harus menimpa Ramadhan.
Ia lalu merenung lama hingga akhirnya bisa menemukan suara. Perempuan penyandang tunadaksa dengan kaki kecil ini mengucek matanya dan menghela napas panjang.
“Kakak tidak marah atas perlakuan kalian, semua sudah terjadi. Kakak hanya sangat-sangat tidak sabar ingin bertemu Ramadhan. Jadi, tolong antarkan Kakak segera ke Ramadhan sekarang juga!”
Rahman berusaha menahan tangis, ia langsung menggulirkan kursi rodanya cepat-cepat keluar dari tempat latihan memanahnya dan mengeluarkan alat bantu tongkat penyangga untuk berjalan.
Rahim dan Khusnul bergegas membantu Rahim dan segera memesan taksi online agar membawa mereka ke rumah sakit dimana Ramadhan sedang dirawat.
Mereka paham betul, sifat altruisme yang melekat pada Kak Rahma akan kumat apalagi buat si Ramadhan, si bocah kecil ingusan yang sering bertingkah usil, lucu, dan terlalu keras pada diri sendiri ini yang sedari kecil tak mengenal sosok ibu dan bapak.
Bocah yang juga memiliki keterbatasan sama sepertinya dirinya tapi dari segi kebutuhan yang berbeda.
Andai kakinya yang terlalu ramping ini, bisa disambung ke kaki Ramadhan pun ia rela. Andai keajaiban itu terwujud.
Keempat sahabat akhirnya bisa berkumpul di rumah sakit, Ramadhan terbaring didampingi seorang pelatih yang rajin menggemblengnya, Pak Khotimah.
Ditemani satu-satunya keluarga yang ia punya yaitu nenek Ramadhan bernama Sabar yang dengan telaten baru saja selesai menyuapinya.
Rahmah memasuki ruang pasien dan mematung beberapa saat melihat kondisi Ramadhan. Rahmah tak menyangka kaki yang sering dijuluki sebagai putra duyung ini lenyap seolah dimakan hiu buas.
Kaki yang tangkas merawat tempat pelatihan agar tetap bersih. Kaki itu juga sering mendorong kursi rodanya berpindah posisi untuk menembakkan panah demi panah.
Kaki yang sigap membeli minuman kala Istirahat dan memakan bekal bersama di tempat latihan bersama Rahim dan Husnul. Lelaki yang agak berwajah oriental ini sudah ia anggap adik sendiri.
“Kak Rahmah...” Ucap Ramadhan lirih dengan memicingkan sebelah matanya yang diperban.
Ia tersenyum lemah menunjukkan giginya yang berjejer dan sekarang harus ompong di bagian atas. Ia berusaha bergerak namun rasa sakit selalu menyengat tubuhnya.
“Ramadhan, jangan terlalu bersemangat! Sambil rebahan saja!” Rahmah tersenyum pahit dan buru-buru berjalan tertatih-tatih mendekati Ramadhan hingga hampir terjungkal jika tidak ditopang adiknya.
“Ha...ha... Kakak juga sama saja! hati-hati juga dong Kak kalau jalan!” dengus Ramadhan, si usil berlagak songong seperti biasanya tapi kini suaranya agak serak.
“Selamat Kak Rahma atas kemenangannya, keren! gini dong, jangan cuma jago panah asmara saja!” sambung Ramadhan dengan lontaran sindiran berbalut candaan yang akrab di telinga.
Meski hanya bisa terbaring kaku, mulutnya masih bergerak ritmis mengalun bersama suara kekehan kecil seisi ruangan.
“Kamu juga nggak kalah keren! kayaknya kamu ingin ikut cabang lomba paralimpiade bareng aku tahun depan?” Tantang Rahma semakin membangkitkan semangat Ramadhan yang ia yakin tak ikut lumpuh karena ia sudah tahu seperti nama yang disandang.
Ramadhan. Ramadhan akan selalu meraih kemenangan meski di tengah keterbatasan. Bunyi beduk pertanda Isya’ pun mengudara yang akan diiringi sholat Tarawih.
Hari kemenangan bagi Ramadhan sudah cukup sebatas dikelilingi Rahmah, Rahim, Husnul, Pak Khotimah, dan Nenek Sabar.*
Lanjut Baca: Cerpen Tentang Keterbatasan Fisik, Dira Bukanlah Beban Keluarga
Posting Komentar untuk "Cerpen Disabilitas: Kemenangan Ramadhan dalam Keterbatasan"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)