Cerpen: Hidup dari Sampah
Hidup dari Sampah. Gambar oleh Dwi Ariadi dari Pixabay |
Hai, Sobat Guru Penyemangat, kira-kira sudah seberapa sering kamu melihat para pekerja yang akrab dengan sampah?
Kenyataannya, ada banyak saudara kita yang sehari-harinya hidup dan bersahabat dengan sampah.
Bau busuk, dikerumuni lalat, atau malah tergores oleh beling? Agaknya cerita tersebut sudah biasa bagi mereka para pemilah sampah.
Walau begitu, bukan berarti mereka hina, kan. Alhasil, dari sampah dan para pemilahnya kita bisa belajar tentang kesetaraan derajat antar sesama manusia.
Lebih detailnya, kita bisa simak dari cerpen berikut ya:
Cerpen: Hidup dari Sampah
Oleh Sri Rohmatiah Djalil
"Pak, Pak, ayo mulih, bentar lagi Zuhur!"
Anak laki-laki usia sekitar 14 tahun menarik tangan bapaknya. Sang bapak masih asyik memilah tumpukan sampah di tempat pemrosesan akhir.
Sampah-sampah itu bagi sebagian orang menjijikkan, tetapi bagi si bapak dan anak itu bagaikan mutiara. Dari sanalah mereka bisa makan, sekolah hingga memiliki rumah.
Pak Muji, nama bapak dari anak itu, kesehariannya berada di antara lalat dan bau busuk yang menyengat.
Si kecil, Arya setiap hari Minggu, menaruh seragamnya di bak cucian dan berganti kaus lusuh belel.
"Jangan ikut, Nak, nanti kamu dihina teman-temanmu jika tahu kamu berada di tempat sampah!" cegah sang Ibu.
Arya selalu punya jawaban yang tepat agar bisa membantu orang tuanya.
"Kan tempat sampahnya jauh dari sekolah. Lagi pula jika mereka tahu, tak masalah, Bu,' sahutnya.
Teman-teman Arya, dulu sering mencibir ketika tahu Arya sering mengambil botol bekas di sekolah. "Lumayan, bisa untuk tambahan timbangan," gumamnya.
"Pemulung, pemulung!" ledek temannya.
Itu masa lalu, sekarang, teman-teman Arya sering membantu dengan cara memberikan botol minum bekas.
Arya tidak perlu mengambilnya di tempat sampah atau teras kelas. Sekolah pun jadi bersih berkat ketelatenan Arya.
"Pak, aku pulang duluan ya, sebentar lagi waktu zuhur," seru Arya lagi.
Tanpa menunggu jawaban dari bapaknya, dia berlalu.
"Lima menit harus nyampe rumah, mandi, dandan, ke musala," gumamnya dengan langkah terburu-buru.
Bruk …!
Tiba-tiba seseorang jatuh di depan kantor tempat pemrosesan akhir sampah.
"Hai, anak sampah, kamu punya mata atau tidak?" teriak anak laki-laki sebaya Arya.
"Maaf, tidak sengaja." Arya berusaha minta maaf dengan mengulurkan tangan.
"Aahh anak sampah, kapan aku punya adik dekil seperti ini. Jangan dekat-dekat!" hinanya sembari memandang sinis Arya.
Boleh Baca: Cerpen Tentang Rahasia Warna Pelangi (Pentingnya Menghargai Orang Lain)
Seseorang memandang dari balik gorden, kepalanya digelengkan pelan. Wajahnya yang penuh kerutan tampak kusut.
Dibantingnya tubuh gemuk itu ke atas kursi sofa. Sesekali dahinya mengernyit.
Sampah. Gambar oleh FinjaM dari Pixabay |
"Pah, ayo kita pulang, di sini bau!" Tiba-tiba suara anak laki-laki mengagetkan lamunan sang bapak bos.
"Iya, Nak, sebentar lagi. Bisa bapak minta tolong sebelum kita pulang!" sahut bapaknya.
Anak laki-laki itu duduk dan memandang bapaknya penuh heran.
"Begini, bapak selesaikan pekerjaan kantor dulu, sementara kamu pergi ke dusun sebelah, kasihkan amplop ini kepada nama tertera. Kamu bisa minta antar Mang Suryo. Jangan pergi sebelum ketemu nama orang ini ya," jelas bapaknya sembari menyodorkan amplop putih ukuran kecil.
***
"Tunggu di sini saja, Den, Arya nanti keluar dari mushala itu!" tegas Mang Suryo pada anak laki-laki yang berada di samping kirinya.
"Kenapa kita tidak ke rumahnya saja, Mang Suryo?"
"Rumahnya itu sebelah surau, kalau waktunya salat, rumahnya kosong, semua melaksanakan salat, percuma juga kita nunggu di teras," ujar sang supir pribadi itu.
"Rumahnya bagus, Mang, asri, banyak bunga, sepertinya penghuni rumah menyukai kebersihan ya?" seru anak itu memandang rumah besar yang ditunjuk Mang Suryo.
Laki-laki yang sedang memegang setir itu melebarkan bibirnya, "Begitulah, Den, bos senang singgah ke rumah ini, keluarganya ramah, baik, satu lagi Den, kopi buatan ibunya super lezaaat," ocehnya.
"Masa sih, Papah sering ke sini, aku ko gak pernah diajak,"
"Tadi pagi, bos bilang mau ngajak Aden ke sini, tapi ko sekarang malah gak ikut, emang itu surat apa, Den?" tanya laki-laki paruh baya yang sudah 10 tahun menjadi supir pribadi.
Boleh Baca: Cerpen Dira Bukanlah Beban Keluarga
Tiba-tiba, dari arah surau keluar anak laki-laki berpakaian muslim rapi.
"Nak Arya, jangan lupa, ba'da Ashar ajari anak ngaji ya!" kata seorang bapak yang sama-sama keluar dari surau.
Anak yang dipanggil Arya menganggukkan kepala sambil memamerkan gigi putihnya.
Mang Suryo, segera keluar dan membukakan pintu anak majikannya.
"Nak Arya, sini, ada titipan surat dari bapak bos!"
Arya menoleh ke arah suara. Langkah kakinya tampak buru-buru.
“Mang Suryo, bapak bos ke mana, ko titip surat?" tanya Arya.
Namun, ketika mendekat Mang Suryo, Arya kaget dengan anak laki-laki yang duduk di dalam mobil.
Teringat akan kejadian tadi saat pulang dari tempat pemrosesan akhir.
Anak ini yang menghinanya dengan kata-kata keji "anak sampah".
Apa bedanya dengan anak ini, sama-sama makan dari sampah. Bapaknya anak ini lebih bersih saat di TPA karena kedudukan sebagai kepala Pengolahan sampah. Sedangkan orang tua Arya lebih kotor, karena posisi sebagai pemilah sampah.
Namun, saat di surau ini, mereka sama, baju muslim putih, peci. Malah kata Pak Eko, begitu nama dari bapak bos yang sering dipanggil Arya dan Mang Suryo.
"Derajatmu lebih tinggi di mata Allah dari pada saya, Nak."
"Kita sama, Pak Bos. Sama-sama masih belajar," ujar Arya waktu itu.
"Den ayo keluar, kasihkan pesanan dari bapak bos tadi!" seru Mang Suryo mengagetkan lamunan Arya.
"Oh, maaf Mang Suryo, mari kita ke dalam rumah, di sini panas, mari, mari, Den!"
Arya segera membuka pintu pagar lebih lebar.
Mang Suryo dan anak bosnya masuk dengan hening. Entah apa yang ada di pikiran mereka.
Mungkin Mang Suryo sedang berdoa, semoga ibunya Arya membuatkan kopi untuknya. Sementara anak bos, barangkali berpikir, bagaimana cara kabur dari hadapan Arya karena malu.
Orang tuanya saja menghormati, menyayangi Arya. Memandang mereka sama.
"Maaf atas kejadian tadi siang, aku sudah menghina kamu," ujar anak bos itu.
Arya tersenyum, "Tidak apa-apa, kan aku juga yang salah telah nabrak kamu, maaf ya."
"Nama kamu siapa?"
"Kamu bisa panggil aku Alan."
Mang Suryo yang sejak tadi kebingungan, tepuk tangan.
"Ooh kalian sudah ketemu, ya wes, sekarang damai ya, untuk memeriahkan perdamaian, bagaimana kalau kita minum kopi, tapi ngomong-ngomong kopinya belum ada."
Kedua anak laki-laki, Arya dan Alan tertawa.
"Buat sendiri kopinya, Mang Suryo!" seru Arya
***
Nah, demikianlah tadi secarik kisah singkat mengenai hidup dari sampah. Dari cerpen tersebut kita bisa memetik pelajaran bahwa derajat manusia itu tidak dibedakan dari mata pencaharian maupun profesinya, melainkan dari tingkat takwanya kepada Allah.
Salam.
Posting Komentar untuk "Cerpen: Hidup dari Sampah"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)