Cerpen Tentang Ibu Pergi Menuju Surga
Hai, Sobat Guru Penyemangat. Kehilangan seorang Mama adalah kehilangan terbesar dalam kehidupan seorang anak.
Terang saja, selama apa pun diri hidup dan berdampingan dengan Ibu di dunia, selama itu pula seorang anak akan mengaku tidak pernah punya cukup waktu untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Maka dari itulah, penyesalan ketika ditinggal pergi oleh sosok malaikat tanpa sayap terkadang terasa amat menyakitkan.
Tapi, sebagai seorang hamba yang beriman, tentunya seorang anak harus menerima takdir dari Allah. Kematian yang tidak pernah tahu kapan tibanya itu adalah bagian dari takdir, dan takdir juga menjadi bagian dari rukun iman.
Alhasil, sempatkanlah diri untuk berdoa semoga jalan Ibu dimudahkan menuju surga-Nya.
Pada tulisan kali ini Guru Penyemangat bakal menghadirkan cerpen tentang Ibu yang pergi menuju pintu surga.
Nah, langsung disimak saja ya:
Cerpen: Menuju Pintu Surga
Oleh Sri Rohmatiah Djalil
Cerpen Tentang Ibu Pergi Menuju Surga. Gambar oleh bingngu93 dari Pixabay |
Sudah menjadi keseharian Aprianto berada di bawah terik. Tangannya selalu sigap memberi aba-aba setiap kendaraan yang hendak berhenti atau pergi.
Pasar Beringharjo yang menjadi bagian dari Malioboro selalu ramai pengunjung dari luar kota, lihat saja plat mobilnya, label luar kota. Orangnya pun berbeda, tidak seperti warga pribumi yang berpenampilan sederhana jika ke pasar.
“Sempurna seorang ibu-ibu sugih,” gumam Aprianto.
Jauh sekali dengan ibunya, dia perempuan tua, keriput, kulitnya pun gelap, mirip Aprianto, Jika ke pasar hanya menenteng kresek dan dompet lusuh merek toko emas, itu pun dompet lungsuran dari majikan.
Aprianto pernah canda, “Emasnya mana, Mak?” Emaknya tersenyum.
“Besok kamu yang belikan untuk Emak.” Mereka tertawa bahagia, bukan senang karena menikmati kemiskinan, tetapi suka dengan kebersamaan.
Tinggal berdua tanpa seorang kepala keluarga sudah cukup bagi mereka, daripada ada sang Bapak tetapi menyiksa batin emak. Tabiat bapak Aprianto jauh dari sempurna, kesehariannya hanya judi. Sekarang dia menikmati balasan di penjara.
“Itu yang terbaik baginya, biar insaf,” ujar Emak suatu ketika.
Ladang parkir sekarang dikuasai Aprianto, “Kiri, bales, terus, banting, setop,” lengking bocah 16 tahun.
“Kau pintar sekarang jadi juru parkir,” sapa Abang becak yang biasa mangkal wilayah pasar.
Aprianto hanya melebarkan bibir, tak perlu juga menjawab sapaan si Abang, karena hanya basa-basi belaka.
Boleh Baca: Cerpen Pesan Ibu di Tepi Pantai
Setelah itu, dia akan mengayuh pedal, mengantar istrinya pulang yang kelelahan berjualan sayuran. Sama seperti ibunya dulu, sebelum sakit.
Lengkap sudah beban di bahu Aprianto, menjadi tulang punggung keluarga, merawat sang Ibu. Namun, baginya itu suatu keberkahan, bukan suatu beban. Dia malah merasa bersalah tidak merawat ibunya dengan baik kala sakit.
Setelah merasa yakin ibunya telah sarapan bubur yang dibuatnya dan minum obat dari mantra, Aprianto pergi dengan seragam abu-abu. Siang hingga sore dia akan mengganti baju putih dengan kaos dekilnya. Bertemu ibunya kembali ketika menjelang Magrib dengan membawa satu bungkus nasi padang lauk telur dadar.
Hari ini lain, dia tidak ingin membawakan telur dadar untuk ibunya. Dia memesan rendang satu potong dan ikan kembung goreng untuk besok pagi.
“Tumben lauknya daging, To, dapat rezeki banyak ya,” gurau si Abang warung padang.
“Alhamdulillah, hari ini aku ingin emak bahagia dengan makanan kesukaannya, Bang,” sahut Aprianto tersenyum.
“Wah ini ulang tahun emakmu toh?” selidik pemilik warung.
“Ini kan hari Ibu, Bang,” sahut anak laki-laki itu.
“Oh … maklumlah, To, abang tidak sekolah, tak punya emak pula.” Abang warung terkekeh hingga tampak gigi putihnya yang masih utuh, walaupun usia menjelang 50 tahun.
“Abang titip hadiah juga ya, dua potong rendang, simpan uangmu untuk besok beli nasi lagi ke mari,” ujarnya lagi.
Aprianto senang menerima hadiah itu, si Abang memang baik, tapi tidak pernah merendahkannya. Dia selalu memberi dengan alasan titip untuk emak. Kalau sudah nama emak dibawa, anak itu tidak bisa menolak, karena si Abang akan berkata:
“Kamu berusaha menutup pintu surga untuk abang, emakmu sama seperti emakku juga, janganlah ingin masuk surga sendiri!”
Senja tak sabar menanti obrolan dua insan. Biarlah anak itu berjalan ditemani awan pekat menuju pintu surga yang setiap saat terbuka bagi orang-orang saleh seperti Aprianto. Sepotong rendang bagi pemilik plat cantik tidak ada artinya, dia meninggalkannya.
***
Demikianlah tadi secarik cerpen karya Sri Rohmatiah Djalil yang berkisah tentang amalan sederhana yang bisa dilakukan demi memudahkan jalan Ibu menuju surga-Nya.
Salam.
1 komentar untuk "Cerpen Tentang Ibu Pergi Menuju Surga"
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)