15 Contoh Kritik dan Saran Pembelajaran Online untuk Guru, Siswa, dan Orang Tua di Rumah
Tahun ajaran 2021/2022, juga 2022/2023 ternyata meleset dari rencana kita semua, ya? Padahal sejak awal tahun ini Mas Mendikbudristek Nadiem Makarim “ngegas” untuk menggelar pembelajaran tatap muka.
Tapi…
Kritik dan Saran Pembelajaran Online. Dok. Gurupenyemangat.com |
Apalah daya. Corona di Indonesia semakin menggila sehingga pembelajaran online terpaksa harus dipilih sebagai opsi terbaik.
Meski begitu, kita patut bersyukur bahwa sekarang pandemi sudah mulai menepi. Ya, walaupun saat ini kita masih terjebak dalam jeratan inflasi dan sedang berjuang untuk pulih, namun setiap siswa maupun sekolah dalam jenjang pendidikannya harus tetap semangat.
Contohnya seperti SD Islam terbaik di Duren Sawit Jakarta Timur, yaitu SDIT Ar-Rahmah Jakarta tetap konsisten membangun generasi shaleh, kreatif, mandiri, serta mendidik dengan kasih sayang.
Rasanya hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pembelajaran daring. Katanya saja seru, katanya saja asyik belajar dengan teknologi, tapi nyatanya? Jenuh, suntuk, bosan, bahkan melelahkan.
Sistem pembelajaran online penuh dengan kritik serta mendulang banyak saran baik untuk guru, dosen, siswa, hingga wali murid di rumah. Berikut ini kita hadirkan contohnya:
15 Contoh Kritik dan Saran Pembelajaran Online Tahun 2022
Tanggal 2 Maret 2020 menjadi cikal bakal eksistensi corona sekaligus awal mula diterapkannya sistem pembelajaran daring.
Waktu itu, Pak Jokowi mengumumkan adanya WNI yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Sesaat kemudian, keluarlah surat edaran Mendikbud sekaligus mengajak pembelajar di Bumi Pertiwi menutup sekolah untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Bakal penuh kritik, kan? Tentu saja. Di sini Gurupenyemangat.com bakal menyajikan total 15 contoh kritik sekaligus saran terhadap sistem pembelajaran daring (online) tahun 2022.
1. Guru Masih Setengah Hati dalam Beradaptasi dengan Teknologi
Benar. Tidak semua guru bisa cepat dalam beradaptasi menggunakan media pembelajaran online.
Selama kegiatan PJJ, banyak pula guru yang masih belum serius untuk belajar menggunakan aplikasi Zoom, Google Classroom, Powtoon, akun belajar.id, dan berbagai pilihan aplikasi belajar lainnya.
Terkadang begini; guru yang sudah merasa senior lebih mendahulukan bahkan menyerahkan adaptasi teknologi kepada guru-guru muda. Akhirnya, guru muda malah yang terpontang-panting.
Lebih dari itu, terkadang pula kegiatan pelatihan online yang selama ini digelar tidak tepat sasaran dan susah untuk diimplementasikan. Ya, itu karena hanya berorientasi kepada sertifikat semata.
Saran untuk Guru dalam Pembelajaran Online:
Tetap jadilah pembelajar sepanjang hayat. Guru perlu menyadari bahwa dirinya wajib meningkatkan kompetensi terutama untuk memudahkan implementasi pembelajaran daring.
Baca di sini: 9 Kompetensi Utama yang Wajib Dimiliki Guru Abad 21
Dalam mengikuti seminar, workshop, serta pelatihan lainnya diharapkan lebih care dengan materi sekaligus implementasi. Sertifikat hanyalah sebatas apresiasi atau hadiah.
2. Tugas yang Diberikan kepada Siswa Terlalu Menumpuk
Tugas yang Diberikan kepada Siswa Terlalu Menumpuk. Dok. Gurupenyemangat.com |
Nah. Inilah yang sering kali menjadi problem utama. Kita bisa berkaca dengan survei KPAI pada tengah tahun 2020 kemarin.
Dari total 1.700 responden, direngkuh sebanyak 77,8% siswa mengeluh atas tugas yang menumpuk antarguru. Sedangkan 37,1% siswa mengkritik waktu pengumpulan tugas yang singkat.
Saran untuk Guru yang Memberikan Tugas Menumpuk Ketika Pembelajaran Daring:
Guru perlu saling berkoordinasi dengan rekan sesama pengajar. Tugas yang terlampau banyak bakal menjadikan siswa semakin terbebani bahkan stres.
Boleh Baca: Contoh Kritik dan Saran Kuliah Online
3. Mahalnya Biaya Kuota Internet
Dari sejak lama, kita semua mungkin menyadari bahwa PJJ itu menghabiskan banyak kuota. Terkadang masalahnya sama, bahwa semakin kencang speed internet, semakin mahal pula biaya yang diterapkan oleh provider-nya.
Benar bahwa pemerintah sudah menghadirkan kuota gratis, tapi tetap saja bantuan itu masih belum cukup.
Saran:
Guru sebaiknya tidak selalu menggunakan media pembelajaran online yang bakal menghabiskan banyak kuota seperti Zoom, Google Meet, dan YouTube. Gunakan pula media online lain atau diseiramakan dengan sistem pembelajaran guru kunjung.
4. Susahnya Mendapatkan Sinyal Internet
Hemm. Untuk hal yang satu ini rasanya sudah menjadi masalah besar nan akut. Terang saja, banyak pemberitaan miris yang kita temui di berbagai media arus utama.
Mulai dari siswa yang panjat pohon, menumpang di warung kopi, menaiki bukit, hingga sedih gegara tak mendapatkan sinyal untuk keperluan belajar daring.
Saran:
Ciptakanlah pembelajaran yang “adil”, yaitu pembelajaran yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kesanggupan siswa.
Jika tak semua siswa bisa belajar online, maka hadirkan blended learning atau pun terapkan pula sistem luring. Panduannya bisa dibaca di: Pedekate dengan Blended Learning dan Manfaatnya
5. Sistem Pembelajaran Online hanya Memindahkan Tugas ke Media Digital
Masih banyak kita temui kasus yang seperti ini di lapangan. Bahwa beberapa guru masih sering hanya memotret tugas dari buku siswa, kemudian membagikannya via Whatsapp maupun Messenger.
Kita sedih dengan hal tersebut, tambah lagi ketika jawabannya sudah tersedia di Google seperti di Brainly.
Saran Perbaikan untuk Guru dalam Sistem Pembelajaran Online:
Hadirkanlah soal atau tugas yang Higher Order Thinking Skills (HOTS) agar siswa mau berpikir kritis, sintesis, analitis, dan evaluatif. Jika soal dan tugas hanya memindahkan dari buku paket, maka Google pasti lebih pintar.
6. Siswa Belum Sepenuhnya Mampu Belajar Mandiri
Jangankan siswa, sebenarnya masih banyak orang yang terpontang-panting dalam melaksanakan kegiatan belajar mandiri.
Susah! Siswa kesulitan dalam mengontrol waktu, memanajemen pengerjaan tugas, serta konsisten untuk belajar online secara rutin.
Dengan demikian, saran yang perlu dipertimbangkan adalah; orang tua dan guru wajib membimbing siswa bahkan menemani mereka untuk belajar online serta belajar daring dari rumah.
Boleh Baca: Cara Belajar Efektif dan Efisien di Rumah maupun di Sekolah
7. Orang Tua Kurang Sabar dalam Membimbing Siswa
Sabar itu memang susah, apalagi ketika kita berkisah tentang kegiatan pembimbingan dari orang tua di rumah. Orang tua mungkin kaget karena sistem PJJ belum pernah ada di masa mereka.
Maka dari itu, diharapkan betul bagi orang tua agar lebih pengertian, lebih sabar, dan mau belajar terutama dalam membimbing siswa.
8. Minimnya Variasi Metode Ajar dari Guru
Belajar via Google Classroom, YouTube, hingga Zoom itu bisa dibilang sebagai metode pembelajaran yang kreatif? Belum tentu. Kita harus lirik pula bagaimana tekniknya.
Jika teknik guru hanyalah membagikan link YouTube dan videonya pun didapat dari orang lain tanpa ada panduan pembelajaran, itu sama saja. Belum bisa dikatakan kreatif.
Tambah lagi ketika banyak terdengar berita bahwa siswa menderita kebosanan selama belajar online.
Dengan demikian, perlu dihadirkan variasi metode mengajar. Beda jenjang kelas, beda pula metode mengajar. Bahkan, metode mengajar yang sama untuk jenjang kelas yang sama belum tentu menghasilkan derajat keefektifan yang sama.
9. Penyaluran Kuota Internet yang Terkesan Tidak Adil
Mengapa dikatakan tidak adil? Karena di sebaik euforia pembelajaran daring, masih banyak pula siswa dan guru yang pontang-panting menerapkan pembelajaran luring.
Ada dari mereka yang bisa menerapkan pembelajaran daring, namun terkendala karena tidak pernah mendapat asupan kuota.
Saran perbaikan untuk sistem pemberian kuota internet:
Pemerintah jangan sepenuhnya menyerahkan kewajiban kepada sekolah dan operator. Koordinasi kepada disdik daerah juga perlu dirutinkan.
Pun demikian dengan para pengawas. Semestinya masalah pemberian “kuota” yang belum adil bisa jadi pembahasan utama di meja rapat dinas pendidikan.
10. Mas Mendikbud Jarang Melirik Sekolah 3T yang Menerapkan Sistem Sekolah Luring
Gurupenyemangat.com ingat betul bahwa di awal-awal pemerintahannya, Mas Nadiem pernah menjanjikan akan menyalurkan gadget dan laptop ke sekolah 3T. Sekarang, entah mengapa berita itu tak terdengar lagi.
Perlu diketahui, sekolah 3T sampai saat ini masih banyak yang kekurangan buku ajar, buku paket siswa, dan fasilitas pembelajaran utama lainnya. Hal ini semestinya menjadi ladang perbaikan bagi para pemangku kebijakan pendidikan agar lebih peduli.
Jika tidak? Maka kesenjangan pendidikan pusat dan daerah akan semakin menganga.
11. Siswa Jenuh, Stres, Serta Menderita “Sakit” Secara Psikososial
Mengapa kok begitu? Iya, sejak belajar daring alias belajar online dari rumah, kegiatan sosial mereka jadi berkurang.
Siswa jarang bertemu banyak orang, siswa jarang menyapa rekan dan sahabatnya secara tatap muka, bahkan siswa lebih sering pedekate dengan media digital.
Lama-lama dibiarkan, siswa bakal menderita “sakit” secara psikososial. Maka dari itu, saran yang bisa ditempuh untuk meminimalkannya ialah dengan menerapkan sistem pembelajaran tatap muka.
Jika tidak bisa, maka pembelajaran online yang kreatif, aktif, efektif, bermakna, dan menyenangkan perlu terus dihadirkan.
12. Beberapa Daerah di Indonesia Sering Mati Lampu
Hal ini kerap kali menjadi masalah utama dalam pembelajaran dari rumah, terutama melalui televisi. Maka dari itulah pembelajaran via TVRI tidak selalu mendulang efektif.
Siswa hanya belajar secara satu arah, dan ketika mati lampu, maka semuanya selesai.
Solusi perbaikan yang rasanya bisa ditempuh adalah dengan menerapkan sistem guru kunjung, menggelar pembelajaran secara berkelompok sembari pemerintah mempercepat pemberian akses layanan listrik yang merata.
13. Tidak Semua Siswa Punya Gadget
Dalam aktivitas belajar online di rumah, perlu kita ketahui bersama bahwa tidak semua siswa punya ponsel pintar.
Sedihnya, kadang orang tua rela pinjam uang serta memeras keringat lebih banyak demi bisa membelikan smartphone.
Kadang pula, siswa rela meminjam smartphone atau berbagi penggunaan gadget dengan rekannya. Akibatnya? Jelas derajat pembelajaran online semakin tidak efektif.
Dua saran yang kiranya bisa segera diwujudkan adalah bantuan pemberian gadget, atau jika tidak begitu, maka hadirkanlah sistem pembelajaran lain yang tidak menggunakan smartphone.
14. Banyak Siswa yang “Sengaja” Tidak Mengumpulkan Tugas
Iya, banyak sekali malahan. Bahkan ada siswa yang tidak naik kelas akibat terlampau malas mengerjakan tugas.
Hal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari kurangnya perhatian belajar, menumpuknya tugas, serta susahnya siswa dalam memanajemen waktu pengerjaan tugas.
Syahdan, bagaimana saran perbaikannya?
Guru perlu lebih perhatian, orang tua perlu lebih sering memperhatikan geliat siswa di rumah, dan baik guru maupun orang tua perlu bersama-sama berkolaborasi untuk menghadirkan suasana rumah yang mendidik.
15. Sulitnya Menumbuhkan Karakter di era Pembelajaran Online
Semakin bertambah tahun, rasanya kita sama-sama menyadari bahwa kegiatan penumbuhan karakter menjadi tantangan besar. Hal ini menjadi kritik yang luar biasa penting.
Tidak terkecuali di era pandemi. Sekarang ini malah banyak siswa yang dengan mudahnya melemparkan kata-kata kotor, sedangkan ucapan minta tolong, minta maaf, dan terima kasih banyak dikesampingkan.
Kita sedih, karena semua itu adalah cerminan karakter alias profil pelajar Pancasila.
Nah, bagaimana saran terbaik?
Lagi-lagi orang tua menjadi subjek kunci. Sedangkan untuk guru, mereka perlu menghadirkan tugas yang lebih mengarah kepada perwujudan perilaku dan sikap, bukan malah sekadar aspek kognitif.
***
Pada akhirnya, selalu ada kritik dan saran untuk sebuah sistem pembelajaran yang baru. Hal tersebut sungguh tiadalah mengapa.
Bukannya kita benci dan kesal, melainkan inilah bentuk kepedulian bersama untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kita cukup sedih dengan statistik PISA yang mengarah kepada rendahnya tingkat literasi pembelajar di Indonesia.
Alhasil, kompetensi pembelajar di tahun 2022 dan seterusnya perlu lebih ditingkatkan, dibiasakan, diperjuangan, diadaptasikan, dan diperhatikan secara lebih serius.
Salam.
Lanjut Baca:
6 komentar untuk "15 Contoh Kritik dan Saran Pembelajaran Online untuk Guru, Siswa, dan Orang Tua di Rumah"
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)