Puisi Tentang Bunga yang Kadang Memesona dan Melukai
Bunga kelihatannya begitu indah, bukan? Kenyataannya demikian. Banyak orang menikmati karya Tuhan ini hingga menjadikannya sebagai filosofi maupun tanda cinta.
Oke oke saja, sih. Selama kita enggak merusak alam. Bukan begitu? Nah! Walaupun bunga indah bin memesona, tapi sesekali ia juga bisa melukai.
Terkadang orang menjadikan bunga sebagai dalih cinta, padahal setelahnya cinta itu lapuk layaknya kelompak bunga yang membusuk.
Terkadang orang menjadikan bunga sebagai ungkapan tanda duka. Sedih. Tapi yang lebih sedih adalah mereka yang sering terluka karena bunga.
Apakah itu kamu? Semoga tidak, ya. Ya sudah, aku hadirkan segenap puisi. Semoga memesonaimu. Ahay!
Puisi Tentang Bunga yang Kadang Memesona dan Melukai. Gambar oleh Capri23auto dari Pixabay |
Puisi 1: Bunga Mawar di Ujung Kota
Ada bunga mawar di ujung kota indah rupawan tak ada tandingannya. Merah pipinya membuat sempurna lukisan goresan tangan Sang Pencipta.
Ada bunga mawar di ujung kota, baik budinya sopan santun tak ada yang bisa menandingi kebaikan dan kelembutan hatinya.
Ada bunga mawar di ujung kota, bergaun hijau molek dengan pita merah. Memandang diri di depan cermin dengan senyuman manis layaknya cokelat yang memabukkan.
Siapapun yang menatapnya, menunggu datangnya Romeo yang diidam-idamkannya.
Ada bunga mawar di ujung kota, dengan penutup di wajahnya, menampakkan netra biru memanah siapapun yang melihatnya.
Ada bunga mawar di ujung kota, bukan paras dan raganya yang membuat insan semesta menyukainya.
Ternyata keteguhan dan lembut aroma hatinya yang tiada tanding mengalahkan dan meluluhkan insan yang melihatnya.
Karya: Khairia Nurlita.
Puisi 2: Tentang Dandileon
Aku tumbuh di antara luasnya semesta. Menjadi sesuatu yang indah. Hingga pada akhirnya, angin membawaku menjelajah.
Terbang bersamanya. Tapi entah ke mana. Mencari tempat berlabuh yang selalu kutunggu.
Aku memang rapuh. Tapi tak ingin dikata seperti itu. Sebut aku si pemberani. Berani menghadapi semesta ini. Ke sana kemari. Hanya sendiri.
Dan pada perlabuhan terakhir, aku menemukanmu. Sengaja angin menjatuhkan, tepat di tanganmu. Seketika, kau memegangi dan menghangatkanku.
Lalu, ketika hujan datang, kau malah melupakanku. Kau berlari menuju pintu. Dan aku seperti terbuang. Tapi, hakikatnya aku memang pantas dibuang.
Sekarang, tubuhku di atas tanah. Dingin dan basah. Hanya bisa terdiam kaku. Setelah itu, cahaya datang menghangatkan. Lalu, aku tumbuh tepat di belakang rumahmu.
Aku harap kau bisa melihatku, karena aku masih mengharapkanmu. Teruntuk kamu, yang pernah mengisi ceritaku.
Karya: Aulia AN.
Puisi 3: Tentang Matahari
Aku ingin menjadi seperti matahari. Menyinari bumi setiap pagi. Menghangatkan kala sendiri. Dengan cahayanya ia mampu berbagi. Berbagi dengan penduduk bumi, tanpa harus berterima kasih.
Matahari menyilaukan mata. Membuat kita terperangah, saat melihat senyumannya. Ada kalanya ia tak menyapa bumi.
Karena kelabu sedang menguasai, tapi itu tak membuatnya sedih. Karena, ia akan datang nanti.
Teruntuk matahari, bisakah aku menggantikanmu walau sehari?
Sayangnya, matahari sedang berbahagia dengan perannya di semesta ini. Seperti takdir yang telah amat sangat pasti. Tidak mungkin bisa diubah lagi.
Tolong ajarkanku untuk menjadi diri sendiri, tanpa perlu membandingi. Ajarkan aku untuk menyadari bahwa peran ku di dunia ini juga berarti. Ajarkan ku untuk terus tersenyum walau hati sedang sedih.
Di akhir puisi ini. Aku hanya ingin melihat senyummu lagi. Wahai sang matahari.
Karya: Aulia AN
Puisi 4: Tentang Maple
Akulah maple yang berpasangan ranting. Dengan hijau dan cokelat. Kesatuan warna yang bersuka. Musim itu ditemaninya. Hingga ia berguguran pada waktunya. Musim gugurlah disebutnya.
Akulah maple yang melayang di atas udara. Lalu rebah di atas tanah. Dan menjadi sampah.
Namun, indah.
Raguku seperti maple. Ke sana kemari, dihasut angin. Diinjak kaki. Pasrah dengan apa yang terjadi.
Pun hatiku seperti maple, jatuh pada sesuatu yang tidak dimengerti. Membuat tuan senyum sendiri. Dan membuat merona pipi.
Mapleku yang indah namun hanya ekspektasi belaka. Maple yang fana ini telah menghibur diri. Untuk tidak menangisi sesuatu yang telah pergi. Seperti halnya maple, ia juga butuh untuk dihargai.
Padanya, kutitipkan selembar maple ini. Agar ia gembira hati. Tanpa tangis yang menemani.
Teruntuk Tuan, terimalah selembar maple ini. Tanda aku sangat menyukai.
Karya: Aulia AN
Puisi 5: Mawar Berduri
Hai engkau mawar berduri
Biasanya engkau hanya melukai ujung jari
Tetapi mengapa kini malah melukai perasaan segerembol tunas kecil yang berhati nurani
Kukira engkau cantik
Ternyata hanya bunga berduri yang tak layak dicintai
Dulu engkau berkuncup dan memekarkan janji manis
Ternyata janjimu hanya tandus terkikis
Engkau meminta kami berdiskusi
Dengan tujuan mendapat keputusan yang disenangi
Dan ternyata kami salah
Engkau hanya membuat masalah
Juga membuat hati tunas-tunas kecil resah
Semut-semut api tidak seharusnya berdemo lagi
Tak seharusnya membuat kerusakan di depan akar negeri hanya untuk menolak keputusanmu
Engkau tidak harus melempar duri air mata lagi
Karena air mata kami telah membanjiri tanah
Akibat ketandusanmu sendiri
Karya: Ilham AP
Baca juga:
2 komentar untuk "Puisi Tentang Bunga yang Kadang Memesona dan Melukai"
Tengkyu, Nek
Salam hangat
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)