Lebih Baik Terlihat Bodoh daripada Terlihat Pintar
Berbicara tentang hidup, barangkali bahasan kita tidak akan jauh dari kompetisi kehidupan. Ada yang berupaya terlihat bodoh, adapula yang sok pintar.
Masing-masing insan tak pernah lepas dari yang namanya persaingan. Apa pun perihalnya, cenderung selalu ingin untuk disaingi dan ditentukan siapa yang terbaik.
Harta, tentang siapa yang mampu mengumpulkan nominal uang terbanyak. Rumah, tentang siapa yang memiliki tempat berteduh “perfect”.
Ilmu dan pengetahuan, tentang siapa yang mendapat peringkat satu sehingga dicap “lebih pintar” daripada rekan-rekannya.
Gambar oleh Sammy-Williams dari Pixabay |
Pihak yang mulai merasa mampu menempatkan diri “di atas”, kadangkala suka berbangga ria dan memploklamirkan bahwa dirinya lebih baik dibandingkan orang-orang sebelahnya.
Ini perihal keumuman, sedangkan kekhususan, ada pula sebagian hamba yang rendah diri dan beradab.
Ketika kita berbicara tentang ilmu dan pengetahuan sebagai sebuah kompetisi kehidupan, kenyataannya memang begitu, kan?
Berbeda tingkatan ilmu dan pengetahuan, berbeda pula jalan maupun sikap yang ditempuh.
Bahkan, sang Khalifah Umar bin Khattab menerangkan bahwa tahap pertama dalam menuntut ilmu ialah kesombongan.
Yang berarti bahwa, seseorang yang baru mendapatkan ilmu secuil cenderung akan berbangga terhadapnya.
Apakah ini perilaku yang bahaya? Sebagai sebuah tahapan, perilaku yang demikian tentulah akan dialami tiap-tiap orang.
Sejatinya kecenderungan ini tiada akan berbahaya ketika seseorang yang tadinya baru mendapatkan ilmu secuil mau melanjutkan ke tahap menuntut ilmu yang berikutnya.
Memperdalam ilmu, memperdalam pengetahuan, dan memperdalamnya lagi sesuai tuntunan “Tholabul ilmi minal mahdi ilal lahdi” sekaligus semboyan “Long Life Education”.
Dengan jalan inilah seorang hamba bisa memasuki tahap “rendah hati” dan “merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya” dalam meraih ilmu untuk meneruskan kompetisi kehidupan.
Lalu, apa yang sesungguhnya membahayakan?
Tentu saja sikap sombong tadi. Ketika seseorang sudah mendapatkan ilmu dan pengetahuan, kemudian ia sombong dan betah dengan kesombongannya, maka ketika itu pulalah pikirannya akan semakin sempit.
Begitulah ungkapan “katak dalam tempurung”, malas keluar dari zona sempit alias enggan meng-upgrade kapabilitas keilmuannya. Padahal ilmu Allah itu sungguh luas, kan?
Terkadang Orang Lain Malah Senang Ketika Kita Terlihat “Bodoh”
Salah satu akibat dari sombong ilmu adalah, seseorang menjadi mudah merasa bahwa dirinya lebih tahu dan lebih hebat dari orang lain.
Terlebih lagi ketika orang lain memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah darinya, maka si orang lain tadi rawan terlihat “bodoh” di hadapannya.
Gambar oleh Peggy und Marco Lachmann-Anke dari Pixabay |
Padahal, belum tentu, kan?
Pastinya, banyak orang-orang yang cerdas, yang ‘alim, tapi mereka menyembunyikan luasnya pengetahuan dengan berperilaku rendah hati.
Bukannya mau menipu, melainkan mereka ingin mendapatkan pengalaman dan pembaharuan ilmu dari orang lain.
Tetapi, tidak semua orang mampu memahami hal ini. Termasuklah mereka yang selama ini terlalu betah dan berbangga hati dengan “ilmu secuil” yang telah dimiliki.
Padahal jalan ilmu sungguh banyak, namun ketika sudah terlalu sombong, akhirnya pikiran jadi kalap dan susah diajak berdialog.
Sungguh, ini adalah alamat bahaya. Apalagi ketika ilmu yang dibahas di sini adalah ilmu tentang agama.
Darinya, rawan terjadi perpecahan umat dan pikiran-pikiran sempit yang susah menerima perbedaan malah membuat kelompok-kelompok tertentu yang berperan sebagai pihak oposisi.
Lalu, bagaimana menangkal diri agar kita tidak mudah merasa lebih hebat gara-gara ilmu yang secuil?
Sejatinya, jawaban yang paling tepat adalah jangan pernah berhenti belajar.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay |
Makin dalam seseorang belajar, maka makin bertambahlah wawasannya, makin sadarlah ia bahwa sejatinya dunia ini luas, sehingga hadirlah perasaan bahwa ilmu yang ia miliki hari ini belum ada apa-apanya.
Kalau sudah muncul perasaan “rendah hati” yang seperti ini, maka kecenderungan sifat sombong dan meremehkan orang lain akan segera menyingkir dari sanubari.
Tapi memang, yang namanya belajar itu tidak pernah mudah.
Belajar bukan hanya soal hafalan dan penambahan ilmu pengetahuan, melainkan juga berusaha untuk meng-upgrade perilaku dari yang awalnya biasa-biasa saja menjadi sosok insan kamil.
Seiring dengan bertambahnya ilmu dan pengetahuan, setiap insan akan makin sadar bahwa dirinya benar-benar tidak layak meremehkan orang lain.
Pada waktunya nanti, sikap diri akan semakin terlihat rendah hati karena muncul anggapan bahwa lebih baik terlihat bodoh daripada sok pintar.
Terang saja, "berpura" dalam ketidaktahuan sebenarnya akan membukakan gerbang pengetahuan lebih kepada kita.
Bukan berarti kita sengaja rendah diri, tapi kita ingin memetik ilmu yang berbeda sudut pandang dari sudut pandang pribadi.
Bayangkan bila kemudian kita memaksakan diri agar terlihat pintar. Iya kalo sudah pintar sungguhan, jika nanti dibebankan hal-hal yang rumit dan di luar kemampuan diri, bagaimana?
Nangis dong. Hahaha
Inilah salah satu “nilai yang mahal” yang perlu kita menangkan dalam kompetisi kehidupan.
Salam Semangat.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
- Awas! Terkadang Penjilat Menyamar Jadi Malaikat di Ruang Kerja
- Jangan Takut Salah! Banggalah karena Dirimu Berani Berjuang
- Media Sosial Ada Etikanya, Bijaklah Berkomentar di Postingan Orang Lain!
Posting Komentar untuk "Lebih Baik Terlihat Bodoh daripada Terlihat Pintar"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)