Pernikahan, Perangkap Perasaan Paling Santun atas Kebebasan
Kamu adalah pemuda dan pemudi yang belum menikah? Jika iya, maka pas banget bila kamu baca tulisan ini.
Soalnya, tulisan dengan tajuk “perangkap perasaan” bisa jadi akan cocok dengan keadaan dirimu. Diriku juga?
Bisa jadi, bisa juga tidak. Maksudku, siapa tahu setelah tulisan ini tayang, aku segera menikah. Tapi....bohong. Hehehe. Gak jadi bohong, kan? Aku sudah mengakui sebelum kamu berprasangka. Wkwkwk. 😂
Kembali ke topik tulisan, lagi-lagi aku tekankan bahwa mayoritas pemuda dan pemudi pasti ingin menikah.
Pernikahan. Dok. Gurupenyemangat.com |
Jika ada satu atau dua dari mereka yang enggan menikah, aku kira bukan enggan, tapi belum menemukan waktu yang tepat untuk hidup dalam keadaan “terikat”.
Wajar, kan? Lebih wajar lagi ketika kita menatap takdir. Karena pada dasarnya, takdir tiap-tiap manusia itu berbeda, walaupun mereka kembar sekalipun.
Jikalau memang ditemukan ada orang kembar menikah secara serentak, berarti takdir mereka spesial.
Kita tak perlu muluk-muluk mengikuti mereka. Takdir kita tidak sama. Apalagi kita tidak punya kembaran! Wkwk. 😃
Begitulah kenyataannya, kenyataan bahwa pernikahan adalah cita-cita mulia para jomlowan dan jomlowati di seluruh dunia.
Yang sudah menikah, pasti ada kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
Bahagia karena bisa hidup dalam keterikatan dan tercatat dalam Kartu Keluarga yang sama, bahagia karena bisa kondangan sama-sama, juga bahagia karena bisa merundungi sahabatnya yang belum menikah.
Eits, Setop di situ! Menikah itu giliran, Bro and Sis. Jadi kita dilarang saling merundungi.
Sekarang, kita main logika saja, ya. Kalau pernikahan itu serentak di satu desa saja, maka kelimpunganlah petugas KUA di kecamatan. Kan kasihan. Kita hidup sementara, jangan nyusahkan orang, lah. Eh
Masa Sebelum Menikah Itu Bernama “Kebebasan”
Pernikahan itu selain disertai dengan ikhtiar, juga menunggu giliran.
Maka darinya, tidak salah bila kukatakan bahwasannya masa sebelum menikah itu bisa kita sebut dengan “kebebasan”. Bukan kebablasan, ya! Jauh bedanya. Wkwk 😆
Di luar konteks pacaran, masa-masa sendiri adalah masa di mana seseorang bebas mengekspresikan dirinya.
Mau berteman dengan sepi, atau mau berkecimpung dalam kesibukan dan keramaian, hal itu dikembalikan lagi kepada si jomlowan maupun jomlowati.
Meski demikian, bukan berarti kebebasan yang dimaksudkan sebelum masa pernikahan ini selalu jelek dan sepi, ya! Terang saja, bagi kita yang selama ini sedang sendiri pasti berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati kebebasan.
Banyak hal bisa dilakukan.
Mulai dari jalan-jalan, bekerja sebagai seorang pejuang rupiah, berkarya, menulis, berbisnis, memperluas jangkauan relasi, hingga memperbaiki karakter diri, semuanya adalah pilihan yang mantap. Eits, tapi, selama kebebasan itu berbuah baik, ya!
Dengan demikian, rasanya akan rugi besar bila seseorang yang belum sampai di fase pernikahan tapi ia tidak menikmati kebebasan di kala sendiri. Rugi, Bro!
Kalau tidak percaya, silakan saja tanya teman, sahabat, saudara, serta tetangga kita yang belum lama menikah.
Mereka tak punya kebebasan lagi untuk sering-sering begadang, sering-sering jalan, sering-sering makan di luar, hingga sering-sering menginap di rumah teman.
Ada pembatasan diri dalam berperilaku, yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan pertimbangan “ikatan pernikahan”.
Maksudku, sebagai seorang suami atau istri, tidak sepatutnya diri meninggalkan pasangan untuk hal-hal kebebasan yang kiranya kurang penting.
Bahkan, jangankan untuk hal-hal yang kurang penting.
Untuk urusan lembur kerja, berkunjung ke rumah teman, dan rutinitas sederhana lainnya pun butuh izin. Izin ke suami, izin ke istri, serta mengatur durasi pergi agar tidak terlalu lama meninggalkan pasangan.
In other side, sebenarnya itulah perwujudan dari pernikahan yang diimpikan banyak orang. Sebelum menikah, diri ini harus siap dengan segala perubahan, adaptasi hingga tuntutan hidup berumah tangga.
Maka dari itulah, selagi kita masih sendiri, tak usah ambil pusing dengan keruwetan dalam dunia rumah tangga. Keruwetan itu pasti akan selesai jika dihadapi bersama.
Buktinya? Lha, orang tua bahkan kakek dan nenek kita saja masih betah bermalam dalam satu atap!
Jadi, nikmati saja masa kebebasan sebelum pernikahan. Munculkan banyak karya, berusaha menjadi lebih baik, lalu terbar manfaat untuk seluruh alam.
Pernikahan adalah Perangkap Perasaan Paling Santun
Pernikahan perangkap paling santun. Dok. Gurupenyemangat.com |
Setelah jauh dan muter-muter panjang dalam mengoceh, aku ingin kembali lagi kepada pertanyaan, “Benarkah Pernikahan adalah Perangkap Perasaan”?
Kalau kamu yang mau jawab, kamu jawab benar, atau tidak? Apa! Kamu mau nanya aku? Oke, fine.
Aku jawab, benar bahwa pernikahan itu sejatinya merupakan perangkap perasaan.
Perasaan kita yang terombang-ambing dan (mungkin) bercampur dengan nafsu itu perlu masuk perangkap.
Terang saja, perasaan yang liar itu berbahaya, kan? Certainly. Setauku, sesuatu yang ada embel-embel “liar” itu cukup berbahaya sehingga tidak sedikit orang ingin memasang perangkap terhadapnya.
Meski demikian, dalam konteks perasaan, sesungguhnya pernikahan itu adalah perangkap perasaan yang paling santun.
Ujar Pak Jack (Salah seorang pria hebat):
“Pernikahan adalah perangkap perasaan paling santun untuk bersiap menerima kebenaran atau kepalsuan.”
Kamu setuju?
Harus setuju, dong.
Katakan yang benar itu benar, dan katakan yang salah itu salah. Ketika kebenaran bercampur dengan kepalsuan, di sanalah hatimu akan diuji.
Siap memaafkan? Atau malah memilih untuk memanaskan suasana dengan cara lempar piring lempar mangkuk.
Eh, itu sudah masuk ranah kisah rumah tangga, ya. Hehehe.
Boleh dibilang, hal-hal yang begituan adalah seninya pernikahan. Namanya juga dua hati satu cinta, dua kepala satu atap, sudah pasti ada bengkok-bengkoknya, ribut-ributnya, juga ngambek-ngambeknya.
Meski demikian faktanya, tetap saja tidak bisa kita pungkiri bahwasannya pernikahan adalah perangkap perasaan yang paling santun. Nah, coba kamu bandingkan pernikahan dengan pacaran! 👀
Meskipun keduanya sama-sama perangkap perasaan, tetapi perangkap perasaan dalam kegiatan pacaran kan tidak banyak kebebasan.
Malahan, diri yang terperangkap tidak dapat jatah makan. Wkwk. Memangnya enak makan perasaan!
Ya sudah. Sampai di sini saja lah, ya.
Moga-moga yang belum menikah, cepat-cepat dipertemukan dengan jodohnya. Moga-moga yang sudah menikah tetap akur, sampai akhir hayat. Atau, mau nikah lagi? Ehem... woles, Om. 😄
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
4 komentar untuk "Pernikahan, Perangkap Perasaan Paling Santun atas Kebebasan"
Makasih ya Nek.
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)