Jangan Takut Salah! Banggalah karena Dirimu Berani Berjuang
Sadar atau tidak, ada 2 prinsip besar yang melingkupi banyak orang dari bermacam tipe usia. Nantinya, kedua prinsip inilah yang bakal menjadi penyebab timbulnya perasaan takut salah serta setengah hati dalam berjuang.
Jika kita melirik keduanya, manakah rasa yang lebih dominan?
Agaknya tidak sedikit orang lebih menganut prinsip kedua, ialah membiarkan orang lain melaksanakan suatu perihal lebih dahulu.
Jangan Takut Salah! Gambar oleh 192635 dari Pixabay |
Ibarat ingin masuk sumur, perkenankan orang lain masuk duluan. Padahal, belum tentu sumur tersebut isinya adalah batu, ular, dan beling.
Tapi ya...sepanjang masih terdapat orang lain alias pengganti, entah kapan penganut prinsip kedua bakal berjuang.
Sekal lagi, barangkali dasar sebuah sumur tidak melulu tentang batu terjal, kalajengking, dan ular kobra, kan?
Bisa jadi di bawah sebuah sumur telah tersedia kepingan emas, benda antik, ataupun segunung kenikmatan lainnya sebagai tuah dari perjuangan.
Apa inikah yang dinamakan melarikan diri dari realitas?
Bisa jadi, sih. Lagi-lagi ini berawal dari perasaan khawatir alias takut salah. Terlanjur menabur anggap bahwa diri belum mampu, padahal sekeping keringat belum sempat jatuh dari kediaman kening.
Takut Gegara yang Salah Bakal Dihukum, atau Enggan Berjuang Lebih?
Bila sedari kecil kita sudah terlanjur takut salah bicara, khawatir salah ngomong, berarti yang menanamkan virus tersebut bisa jadi adalah orangtua dan guru.
Jikalau di rumah, orangtua terbiasa menghukum anak bila melaksanakan kesalahan, apalagi mempermalukan anak yang salah di muka umum, maka secara tidak langsung tingkah tersebut telah mengganti prinsip anak menjadi pribadi yang takut salah.
Barangkali "punishment" adalah jalur yang tepat untuk menegur anak serta mencegah mereka dari pengulangan "dosa" yang sama. Tapi...bukankah merupakan suatu kewajaran jikalau anak-anak kita sering salah?
Namanya juga anak-anak. Sedangkan orangtua saja rawan untuk terus berbuat salah.
Contohnya seperti kisah ular dan anak-anaknya. Ular senantiasa mengajarkan anaknya untuk berjalan meliuk-liuk. Nah, jikalau suatu hari sang induk ular menemukan anaknya sedang menggulung, apakah anak ular tadi pantas untuk dihukum?
Semestinya tidak, karena yang sedari awal mengajarkan anak ular untuk "bengkok" adalah induknya.
Rasanya kisah di atas juga bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa jangan memandang sesuatu yang tampak salah secara keterlaluan. Soalnya, yang tampak salah belum tentu benar-benar salah.
Di dunia anak, terkadang mereka dihukum gegara kesalahan yang sederhana, bahkan sangat-sangat simpel. Contohnya seperti salah meletakkan piring kotor, salah pakai baju, hingga tidak bersih menyapu lantai.
Jikalau terus dimarahi, kasihan kan? Padahal orangtua harusnya bersyukur karena anak sudah membantu dan berjuang dengan penuh kerelaan.
Daripada dimarahi atau bahkan dihukum, mendingan tegur mereka dengan cara yang baik, lalu persilakan anak-anak untk berinovasi.
Ajak mereka merenung tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak semestinya dilakukan. Bila ada masalah, ajak anak untuk memecahkannya.
Ketika orangtua berhasil dan rutin melakukan hal seperti itu, maka perlahan anak akan lebih berani untuk berusaha. Mereka tidak khawatir lagi akan kesalahan dan kedepannya akan tercipta prinsip berani berjuang.
Begitu pula dengan racun takut salah yang disebarkan oleh sebagian guru.Terkadang kemarahan seorang guru malah bersumber dari siswa yang salah dalam menanggapi fenomena, gagasan yang tidak sama dengan kehendak guru, atau pengertian yang tidak sama dengan kata buku.
Bila masih ditemui guru yang semacam ini, maka kita wajib periksa tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh guru. Ingin dengar komentar, khayalan siswa, pengalaman siswa, ataupun kebenaran absolut?
Bila semata-mata ingin benar, perkenankan saja sejenak siswa berkunjung ke Google? Mbah Google memanglah begitu baik sehingga seluruh dari kita dia anggap cucu. Hahaha
Tetapi apakah jawaban tekstual serta hafalan semacam itu yang diharapkan guru? Pasti tidak, kan? Jawaban yang keluar dari benak siswa lebih inovatif dan kreatif dibandingkan segunung teori buku.
Bila terus semacam ini hingga normal saja di hari besok atmosfer kelas terus menjadi hening. Anak yang khawatir salah kedepannya tidak ingin lagi berupaya. Meski cuma semata-mata unjuk tangan serta walaupun jawaban mereka benar sekalipun, mereka lebih khawatir salah.
Mirisnya, kerutinan semacam ini hendak meluas sampai dewasa. Buktinya? Amati saja rekan kita yang hanya datang, duduk, diam, lalu isi presensi. Amati pula atmosfer parlemen yang dijuluki rajanya diam.
Apakah mereka khawatir salah? Rasanya mereka telah keberatan gelar serta malas untuk berjuang lebih.
Apresiasi Tidak Melulu Tentang Benar ataupun Salah
Demi meninggikan prinsip "Jika Orang Lain Bisa, Maka Aku Juga Bisa" rasanya kita perlu menghadirkan pemikiran yang lebih luas Terang saja, terlalu sempit dunia ini jikalau segala sesuatu haruslah tentang benar dan salah.
Padahal, yang salah tidak melulu buruk. Malahan lebih buruklah mereka yang terus merasa benar sehingga enggan menerima masukan.
Orang yang salah tetapi berani berjuang adalah orang-orang yang hebat. Setidaknya mereka telah melalui sebuah proses, biarpun ujungnya adalah kegagalan.
Dan satu hal yang perlu kita camkan, bahwa tiada usaha yang sia-sia. Kalau segenap keringat yang kita keluarkan diawali dengan niat yang baik, minimal kita dapat pahala walaupun ujungnya adalah kegagalan.
Banggalah kepada diri karena pernah melakukan kesalahan, karena sesuatu yang salah hanya perlu dipoles dengan ilmu serta diluruskan. Tapi, jangan pula terus-terusan betah dengan salah. Mana ada orang yang mau masuk jurang tiap hari. Wkwk
Seperti reff lagu Last Child, "setidaknya diriku pernah berjuang, meski takpernah ternilai di matamu..." cihui😀
Maka darinya, jikalau ada anak kita yang sudah berjuang namun gagal, maka apresiasilah mereka. Jangan melulu pandang kesalahan, melainkan lirik pula usaha-usaha yang telah mereka perjuangkan.
Guru pula demikian. Ibaratkan kertas putih yang terkena setitik tinta hitam, guru jangan pula terbuta dan tergelapkan oleh titik hitam semata. Pandang pula warna putihnya, yang berarti bahwa lihat pula perjuangan siswa.
Dengan begitu, prinsip tidak takut salah dalam berjuang pelan-pelan akan lahir dan tercipta. Soalnya, walaupun memulai sesuatu itu mudah, tidak semua orang berani menekan tombol "start" yang ada di dalam diri.
Maka dari itulah, kita selalu butuh dengan orang-orang yang berani mencoba, tidak takut gagal, dan tahan banting.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca juga:
Posting Komentar untuk "Jangan Takut Salah! Banggalah karena Dirimu Berani Berjuang"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)