Bijak Menghadapi Masalah ala Suku Rejang dengan “Semitak Buk Neak Gelpung”
Sesuatu yang tidak kita inginkan tapi ia ada, begitulah pengertian masalah yang kumaksudkan. Anak-anak punya masalah, mungkin uang jajannya kurang dan mainan di rumah sudah rusak.
Remaja punya masalah, mungkin kuota internet mereka habis. Dewasa? Apalagi! Bejibun, Bro.
Tapi, sebanyak apapun masalah yang menghampiri, kebanyakan dari kita selalu bisa untuk menuntaskannya, kan?
Meskipun terkadang ada pula masalah yang begitu ruwet, rumit, dan runyam, tapi pegangan peribahasa bahwa masalah itu ibarat “Semitak Buk Neak Gelpung”bisa sedikit melapangkan hati kita.
Masyarakat Suku Rejang (Bengkulu). Foto: taneaktanai.blogspot.com |
Kalau sudah berbicara nasihat, dalam hukum adat masyarakat Suku Rejang nasihat bisa dijadikan pedoman alias tuntunan untuk mengatur tingkah laku sekaligus identitas masyarakat Rejang.
Nah, kali ini, Suku Rejang memandang bahwa masalah itu ibarat menarik rambut di dalam tepung.
Mengapa dimaknai demikian?
Secara tidak langsung, kiasan Rejang ini memandang masalah seperti halnya sehelai rambut yang terjerumus ke dalam tepung. Artinya, akan ada dua pihak yang tersalahkan, yaitu rambut dan tepung.
Sama seperti kita sebagai sang pemilik masalah. Ketika suatu persoalan datang, kita bisa saja menyalahkan diri sendiri ataupun menghakimi orang lain karena merekalah menghadirkan masalah untuk kita.
Kalaulah kemudian yang salah itu diri sendiri dan kita bisa sadar secara pribadi, agaknya tidaklah mengapa. Kita tinggal memaafkan diri serta bermunajat kepada Tuhan untuk meminta jalan keluar dan ketabahan hati.
Tapi, kalau orang lain yang ikut tersalah dan dijadikan objek praduga, bagaimana? Dalam hidup bermasyarakat, tentu persoalan ini akan membahayakan keharmonisan warga dan perlahan akan membuka tabir perpecahan.
Masalah yang kecil bisa jadi besar, dan masalah yang besar akan semakin runyam karena sudah bercampur dengan emosi serta ketidakterimaan diri.
Padahal?
Kembali lagi kepada kiasan rambut dan tepung tadi, masalah kecil tidak perlu dibesar-besarkan karena tiap orang bisa dengan mudahnya mengambil sehelai rambut tadi tanpa menumpahkan sebaskom atau sekarung tepung.
“Gelpung Coa Tupeak Buk Coa Putus”
Sebenarnya peribahasa yang penulis tuangkan di judul artikel ini belumlah lengkap. Biasanya, kiasan alias nasihat sebagai pedoman tingkah laku selalu diiringi penyelesai, kan? Nah, sambungan dari “Semitak Buk Neak Gelpung” adalah “Gelpung Coa Tupeak Buk Coa Putus”.
Artinya?
“Menarik/Mengambil Rambut di dalam Tepung, Tepung Tidak Tumpah, Rambut Tidak Putus”
Maksudnya ialah, ketika kita mengambil sehelai rambut di dalam tepung, sebenarnya kita cukup menggunakan 2-3 jari saja atau memakai sendok sebagai alat bantu.
Tidak perlulah kiranya tepung itu kita tumpahkan atau kita serakkan di lantai demi mengambil seutas rambut.
Semitak Buk Neak Gelpung. Foto: Pixabay |
Sama seperti rambut, permasalahan dalam kehidupan ini juga begitu. Ketika kita mempunyai masalah alias ribut-ribut dengan orang lain, sejatinya kita tidak perlu berperilaku berlebihan kepada orang itu.
Baik kita ataupun orang lain yang salah, kalau masalah itu bisa diselesaikan dengan musyarawah, mengapa tidak? Persis seperti tak perlu menumpahkan tepung demi memetik sehelai rambut. Alhasil, jalan musyawarahlah yang lebih bijaksana.
Terlebih lagi kita hidup di masyarakat, kan. Konflik atau ketersinggungan biasanya akan terus ada.
Entah itu terjadi saat gotong-royong, rapat warga, pemilihan kepala desa, pembagian bantuan pemerintah, masalah yang hadir di sela-selanya perlu diselesaikan dulu dengan cara musyawarah.
Dengan bermusyawarah, semua pihak bisa lebih terbuka mengungkapkan apa-apa penyebab ketersinggungan dan ketidakadilan. Begitu pula nanti jika solusinya sudah didapat.
Semestinya, dengan musyawarah, solusi yang dihasilkan bisa diterima dan hubungan baik tetap tercipta.
Sejatinya, selama kita hidup di dunia, kita tak ingin tertimpa masalah, kan? Apalagi sampai harus memutuskan hubungan baik dengan teman dekat, sahabat, hingga tetangga.
Itu baru satu masalah saja, bagaimana jika masalahnya terus bertambah di kemudian hari. Siapa yang mau tambah musuh!
Alhasil, kita selalu bangga ketika membaca petuah-petuah bijak para pendahulu seperti serambeak-nya masyarakat Suku Rejang.
Petuah yang bijaksana dan tidak menyalahi syariat agama biasanya akan terus berdiri tegak dan bisa dijadikan hukum adat di daerah setempat.
Beda dengan undang-undang, hal-hal yang mengatur perilaku hidup manusia ketika berdiam di masyarakat biasanya bersifat tidak tertulis.
Nasihat berbentuk kiasan biasanya disampaikan dari mulut ke mulut oleh para pendahulu sehingga bisa sampai ke kita.
Maka dari itulah, ketika nasihat itu baik dan tak melanggar norma agama yang berlaku menurut keyakinan kita, sudah sepantasnya nasihat itu kita pegang dan kita budayakan.
Salam. Semoga Bermanfaat.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca juga:
Posting Komentar untuk "Bijak Menghadapi Masalah ala Suku Rejang dengan “Semitak Buk Neak Gelpung”"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)