5 Mindset Berbuat Baik Secara Tulus, Tanpa "Embel-Embel"
Tiap-tiap insan orang tentu suka melirik orang yang baik, tetapi nyatanya tidak seluruh orang itu baik.
Tiap-tiap orang dapat saja senantiasa berbuat baik, namun tidak seluruh orang "sanggup" melaksanakannya.
Tiap-tiap orang dapat saja senantiasa menebarkan kebaikan, namun tidak seluruh orang dapat menangkap kebaikan itu serta menjadikannya biang dari perbaikan diri.
Mindset Berbuat Baik Secara Tulus, Tanpa Embel-Embel. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay |
Berbuat baik dalam dimensi ide manusia bakal menghadirkan beragam sudut pandang. Terang saja, ide manusia yang tidak luput dari keterbatasan kerapkali disenggol-senggol serta tertumpuk oleh perasaan.
Dari situ timbullah" embel-embel" dalam berbuat baik.
Diucap" embel", sebab alibi berbuat baik kerapkali tidak ingin dikatakan oleh seorang. Seakan-akan alibi berbuat baik itu tidak bernama, terlupa, serta tidak dikenal namanya. Sementara itu, hati mereka sendiri yang menyembunyikannya.
Meski sejatinya hakikat sekaligus mindset kebaikan merupakan berbuat baik tanpa terdapat embel-embelnya, tetap saja tidak banyak orang yang mampu menggapai arti kebaikan sampai tingkatan" hakikat".
Darinya, kebaikan yang murni mulai tergusur dengan perasaan serta emosi yang keterlaluan.
Walaupun datangnya perasaan serta emosi itu cuma sesaat, tampaknya hal-hal yang semacam itu yang bakal melahirkan perbuatan baik pakai embel-embel.
Kesimpulannya, muncullah kebaikan-kebaikan dengan mindset sekaligus alasan karena orang lain, karena nilai (duit), ingin dipuji, hingga mau dicintai.
Keberadaan" embel-embel" ini kedepannya bisa jadi begitu memengaruhi kehidupan seorang, di manapun dia singgah, baik secara gesit ataupun perlahan.
1 Berbuat Baik Karena Orang Lain, Bakal Tiba Masanya Kita Kecewa
Tidak terpungkiri jikalau keberadaan orang lain sangat memengaruhi perasaan kita. Karenanya, kadang-kadang perasaan serta emosi kita berguyur naik turun. Sesudahnya, timbullah paradigma lain dari kebaikan.
Anggapan-anggapan semacam mau ditatap baik oleh orang lain, berbuat baik biar menemukan segunung respect dari orang lain, sampai mau menemukan peluang kerja yang lebih layak kerapkali mengecilkan hati kita.
Sementara itu muara dari anggapan-anggapan itu tidak melulu manis. Jika tidak kita yang kecewa, tunggu saja! Kitalah yang mengecewakan orang lain.
Bagaimana tidak, di dalam kebaikan yang sudah rusak kemurniannya sebab pengharapan kelewatan terhadap suatu yang bisa jadi fana, tentu telah ada kebosanan, kejenuhan, serta pergantian perilaku secara seketika.
Perubahan-perubahan ini bakal kelihatan di kala seorang telah menggapai asumsi serta harapan yang dia idam-idamkan sepanjang berbuat baik. Di sebalik itu akan mencuat kekecewaan, sebab kebaikan tadi telah menggapai batasnya.
2. Berbuat Baik Gegara Duit, Akan Tiba Masanya Kita Jatuh
Duit kerapkali membutakan, hingganya sangat memengaruhi kehidupan orang-orang yang kurang kokoh prinsip diri serta imannya.
Bersandar dari sana, timbullah sikap kelewatan apalagi keterlaluan demi memperoleh predikat baik dari duit itu sendiri.
Tidak sedikit pula yang dikorbankan buat menggapai predikat itu. Mulai dari kesehatan, waktu rehat, waktu dengan keluarga, bahkan kedekatan dengan warga juga turut terdegradasi. Pemikiran diri tersempitkan gegara sebatas duit.
Walaupun metode kita memperjuangkan duit itu ditempuh dengan jalan baik, akan hadir masa di mana diri kita bakal jatuh.
Bila telah sakit, tidak dapat lagi mengumpulkan duit. Bila kelamaan rehat, tidak berlaku lagi time is money. Apalagi, bila telah terlalu sering balik kampung, berlarianlah uang-uang dari dalam dompet serta atm.
Dan pada kenyataannya, rezeki bukanlah sesederhana itu, rezeki tidak pula cuma sebatas duit. Bila melulu mengukur rezeki dengan duit, bisa-bisa kita segera mati syukur. Hemm
3. Berbuat Baik Demi Pujian, Akan Tiba Masanya Kita Terhina
Pujian kerap pula menghanyutkan. Berlama-lama dengan pujian bakal meningkatkan rasa bangga sekaligus meninggikan bukti diri yang lebih baik di antara orang banyak. Gegara dapat menghanyutkan, banyak orang mau terhanyut serta hidup awet bersama pujian.
Demi menggapai itu, mereka berlomba-lomba mengejar pujian, ingin tercantum namanya dalam berbuat baik. Mereka cuma mau merengkuh kata-kata:
"Wah, Kamu hebat!"
"Cihui, Kamu pintar!"
" Ahai! Sejak kapan kamu memiliki ide brilian!"
Ujung- ujungnya mereka bisa mendengar tepuk tangan meriah, bahkan hingga terbawa mimpi. Hahaha
Tetapi demikian, suatu hari pujian pelan-pelan akan berjumpa dengan lawan katanya, yaitu hinaan. Dan sayangnya...
...tidak seluruh orang tahan dengan hinaan dan sindiran yang bertubi-tubi. Tetapi ya, seperti itulah tuah dari makan pujian. Hingga darinya, kita tidak perlu mengejar pujian yang menghanyutkan.
4. Berbuat Baik Gegara Mau Dicintai, Akan Tiba Masanya Kita Dimusuhi
Seringkali berjumpa dengan para anak muda terutama mereka yang muda-muda yang berpacaran beberapa bulan kemudian putus, cari pacar lagi kemudian putus lagi, terus bersiklus seperti rantai motor gigi. Padahal, mereka senantiasa berbuat kebaikan.
Dari mulai dibelikan pulsa dan kuota, diajak makan, diajak nonton bioskop, sesekali shopping, sampai selalu telponan.
Hidup seolah kepunyaan berdua, penuh cinta, serta dunia ibaratkan cuma sekecil daun cabai keriting gegara keseringan bertemu.
Sementara itu, sang perempuan tidak sempat mencari tahu dari mana pacarnya bisa duit buat beli pulsa, shopping, nonton, serta seterusnya.
Sedangkan ketika ketahuan, maka....kita putus! Huhuhu. Langsung saja satu desa kehujanan, merambat ke satu kecamatan terserang banjir bandang sebab air mata cinta! Cihui!
Mirisnya, perilaku-perilaku baik beserta bungkusan "embel-embel" tersebut kerapkali berakhir dengan permusuhan.
Walaupun disangka baik, tetapi bila seluruhnya berawal dari kebohongan serta terus dalam kebohongan, maka bersiaplah untuk berakhir tragis.
Begitu pula dengan pekerjaan. Penyimpangan berbuat baik semacam pencitraan, memandang derajat dalam kerja, dan mau dianggap orang lain megah kerapkali berakhir dengan perselisihan serta permusuhan. Padahal, apalah pentingnya sebuah pengakuan. Fatamorgana!
5. Berbuat Baiklah untuk Diri Kita Sendiri
Bila perbuatan baik telah penuh dengan" embel-embel", kemudian yang sakit siapa? Rasanya, diri sendirilah sakit. Bahakn orang lain pun ikut-ikutan kecewa, hingga tersakiti.
Padahal dulu awal mulanya baik, pengertiannya baik, paradigma serta anggapan orang pula baik. Tetapi gara- gara" banyak embel", penafsiran baik berakhir dengan timpang serta menemui arah yang salah.
Buat meluruskan penafsiran berbuat baik, sejatinya kita hanya memerlukan perbuatan baik untuk diri kita sendiri.
Bukan buat sang embel, serta bukan gegara ada embel-embelnya. Jujur saja, seluruh kembali kepada diri tiap-tiap kita.
Ketika perbuatan baik bermula dari ketulusan, maka tunggu saja. Kebaikanlah yang hendak bertamu kepada kita. Tetapi ketika perbuatan itu banyak embel-embelnya, maka keburukanlah yang bakal menginap bersama diri.
Alhasil, mari!
Tuluslah kita berbuat baik, agar tulus pula pujian yang bakal tiba kepada diri. Demikian juga dengan cinta. Tulus kita bekerja, karena nanti bakal ada uang serta rezeki yang bersama ketulusan. Itulah yang kita sebut sebagai hakikat kebaikan.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika.
Baca juga:
Posting Komentar untuk "5 Mindset Berbuat Baik Secara Tulus, Tanpa "Embel-Embel""
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)