Puisi Tentang Hamba, Harap, dan Langit
Hamba adalah insan yang lemah, tak berdaya, juga senantiasa menjadi lumbungnya salah. Meski begitu, harapan kepada langit tak pernah runtuh.
Langit adalah tanah lapang yang diciptakan oleh Sang Maha Luas. Sejadinya hamba takut, tapi harap terus melambung tanpa patah. Aduhai, semoga ampunan terus tercurah.
Berikut kusajikan puisi tentang hamba, harap, dan langit. Mudah-mudahan diri mampu memanajemen hati dan harap dalam balutan doa.
Hamba, Harap, dan Langit. Foto: Pixabay |
Hamba terbit dari nutfah. Seantero massa berterus terang bahwa itu hina. Tapi ternyata tidak. Hamba tersusun dari kumpulan butiran. Karunia cinta sejagat raya.
Tentang hamba. Sesosok insan lemah yang berpayah-payah. Ketika datang masanya, hamba akan jadi tanah. Seberkas yang lain akan bersemayam di alam barzah.
“Aduhai, sungguh mengerikan!”
Tak ada yang tahu bahwa hamba telah beramal langit atau berkebaikan demi pijakan atas tanah. Mulut mudah meludah. Isi hati mudah berkelit. Malaikat mencatat.
Ternyata pahala itu buram. Ada hamba yang kelihatannya mencari dunia, tapi ternyata dalam hatinya mengumpulkan amalan langit. Ada hamba yang kelihatannya mengumpulkan amalan langit, tapi ternyata dalam hatinya berkisah tentang dunia.
Malaikat mencatat
Malaikat selalu mencatat
Malaikat selalu mencatat tanpa salah
Sedangkan hamba?
Sesosok insan hina berpenuh dosa. Terus dan tak henti bersalah. Terkadang suka memfitnah. Membiarkan maksiat bergelabah. Bahkan, hingga Allah murka.
Tiap hamba ingin dicintai oleh tanah. Hamba takut tidur sendiri bersama siksa. Sepi bersama himpitan dosa. Gelap tanpa hadirnya amal baik yang berpahala.
Tiap hamba ingin dicintai oleh langit. Ialah ketika kunya hamba disanjung bersama tasbihnya penduduk langit. Tanpa henti. Hingga nanti dihadirkan secarik pandangan tentang taman surga.
Hamba begitu rindu untuk dicinta. Semoga jalan hamba dimudahkan untuk mencinta. Mudah-mudahan jalan hamba tidak salah untuk benar-benar cinta.
***
Puisi: Kisah yang Paling Mengerikan
Pocong? Ah, tak semengerikan itu. Hanya tampak putih-putih semu di tengah kelam. Berdampingan dengan jengah di sudut malam.
Kuntilanak? Ah, tak semenakutkan itu. Hanya tampak rambut panjang di tengah sunyi. Terkikik-kikik memamerkan bunyi. Tak semua tumbuhan kuduk akan berdiri.
Leak? Ah, hadirnya hanya mengancam batinmu. Hanya selera dengan organmu. Berubah rupa. Tapi tak sepenuhnya mampu mengubahmu.
Kuyang? Ah, ia tak begitu berbeda. Hanya ingin hidup abadi dan lama. Melayang dengan kepala dan usus bergelantung di udara.
Ada banyak lagi? Tak perlu kusebutkan. Semuanya menakutkan dalam pandangmu, tapi tidak dengan batinmu.
Mau kuberitahu kisah apa yang paling mengerikan?
Kisah yang paling mengerikan adalah ketika kita berada di dalam tanah. Seorang diri. Gelap. Tanpa ditemani oleh satupun amalan yang menyenangkan Tuhan.
Mau kembali, tapi tak bisa. Mau memperbaiki, tak ada daya. Ikhlas dan sesal yang tak berarti rela.
***
Puisi: Ketika Langit Telah Memanggil untuk Kembali
Ketika langit telah memanggil untuk kembali, jiwa akan segera patuh. Langit telah mengabarkan kepada diri bahwa jasad telah sampai usia.
Tak bisa maju. Tak bisa mundur. Tanpa menyala rambu-rambu pinggir jalan, utusan langit akan datang tepat pada waktunya.
Beruntunglah ketika jasad sudah siap menaiki kereta kencana. Beruntung pula bila usia akan berpisah dalam naungan induknya hari.
Adalah kebahagiaan yang telah tersurat dalam kalam. Nyaman berbaring di tanah. Terpesona memandang langit. Tak sabar menanti janji di hari kemudian.
Tapi, apakah jasad selalu siap?
Ketika langit memanggil untuk kembali, segenap raga harus siap. Segenap hati memancarkan ketulusan. Ikhlas dalam doa.
Semoga diizinkan untuk bersinggahsana di tempat yang terpuji. Semoga penduduk langit menyambut dengan sepenuhnya bahagia.
***
Puisi: Harap yang Kemarin dirindukan
Tak terasa segunung diksi menghadiahkanku kabar gembira. Segembira para semut yang kejatuhan manisnya air gula. Setelah kemarin mengembara, tibalah aku di jelang akhir episodenya.
Bukan akhir untuk kisah penyelesai, melainkan akhir dari kerinduan harap setelah duduk manis bersanding dengan dua belas purnama.
Sudah terang. Seberkas kertas lusuh jelas tahu bahwa aku kesepian. Meskipun aku lebih tahu, sebenarnya kertas putih tanpa tinta itu lebih lusuh daripada bercak rindu di sanubariku.
Aku dan kertas tidaklah sama. Kertas hanya menanti tinta, sedangkan relung pikir menghadiahkan aku diksi saban hari.
Kutulis cinta, kemudian dihadiahkan oleh diksi tentang bagaimana caraku merindu. Syahdan, rindu itu berbalas dengan menghadirkan keramaian. Kata demi kata sudah menghiburku.
Hingga tibalah aku di jelang purnama sebentar lagi. Bulan hari ini masih sabit, sembari menyodorkan seberkas harap yang kemarin dirindukan.
Aku mungkin boleh berharap, sebagaimana diksi harap merindukanku. Aku juga boleh merindu, sebagaimana harap mengetuk-ngetuk kata menanam di lahan inspirasi.
Purnama sempurna sudah dekat, jadi aku perlu bersiap menjemput seutas rinduku sendiri. Mungkin kesempurnaan itu akan jadi kabar baik. Tapi, mungkin juga tidak akan terlalu baik.
Seuntai doa bisa saja menenangkan. Juga, memberitahu bahwa harap yang kemarin dirindukan mungkin melebarkan waktu tunggu lebih jauh.
Sudah. Aku tak perlu menunggu. Bisa berkarat segunung diksiku. Aku hanya perlu memperbaiki prasangkaku sebagaimana harap memperbaiki waktu tunggu untu merindu.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca lagi:
2 komentar untuk "Puisi Tentang Hamba, Harap, dan Langit"
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)