Puisi Tentang Bulan, Pemuda, dan Sepi
Bulan, pemuda, dan sepi. Rasanya ketiga diksi ini bahkan berlayar indah ketika dirakit dengan rasa yang sederhana.
Bulan itu kesepian, pemuda itu kesepian, sedangkan sepi bakal berteman dengan bulan dan seorang yang masih duduk dalam kesendirian.
Ah, kosong, hampa! Berikut kusajikan sejumput rangkaian diksi dalam puisi tentang ketiganya.
Pemuda, Bulan, dan Sepi. Foto: Pixabay |
Puisi: Sepuluh Cinta di Bulan Oktober
Tanganku gapah meramu langit. Kususun awan lalu kubiarkan mereka berdikari. Sadar bahwa cahaya cinta ditelan hirap. Senjaku enggan bermuka legit.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada hujan. Hujan turun sebabku gelitik awan. Mereka turun butir demi butir untuk mengutuk sepiku.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada debu. Debu bertebaran menyayat elegi. Merangkai semu jadi fana. Membunuh sepi untuk berbatukkan terang.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada kabut. Kabut menyelimuti pipiku. Menutup pori-pori. Menghalangi semburat hitam bertamu.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada nestapa. Nestapa datang di saat dirimu pergi. Ia menyayat daging, membekaskan buih-buih sembilu di kediaman hati.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada swastamita. Swastamita hadir di ujung penantian. Di dekat pondok tua. Beralaskan pasir-pasir asmara.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada temaram. Temaram singgah saat dirimu jauh. Dari jauh tampak bayang. Dari dekat, pandangku karam.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada gundah. Berjatuhan keringat rindu di bawah sinar mentari. Gundah datang di saat aku abai.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada lunglai. Jelang habis purnama aku jelang rimpuh. Sebagaimana merawat almanak penantian tunggu. Tanpa ada kabar darimu.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada masygul. Masygul memenjarakanku di tempurung ratapan. Tetes air mata tak bisa dijelaskan walau seribu bahasa.
Sepuluh cinta di bulan Oktober. Ada mahligai. Mahligai kubangun sendiri. Adalah dari ranting-ranting bambu bertuliskan rindu.
Cukup sepuluh saja. Hari ini dirimu cantik. Aku cinta. Semoga besok juga.
***
Puisi: Penutup Purnama Desember
Sebelas purnama telah berlalu. Mungkin awan telah bergopoh-gopoh mengejar langit dunia. Kelam juga bersembunyi dalam selimut tunggu. Sebagaimana hatiku yang temaram.
Bisa jadi awan bersaksi kepada kelam bahwa dirinya mencintai Desember. Kalau aku, nanti saja. mungkin nanti di ujung purnama Desember.
Masih jauh. Gerbang purnama baru menjelang. Aku pula belum berhias diri. Akan setampan apa aku di hadapanmu. Atau, akan secantik apa kamu di hadapanku.
Di saat purnama Desember tiba, aku akan berkisah lain. Entah sayang entah cinta, keduanya akan mengerang pada akhir masa. Sedangkan awan? Barangkali akan menertawakanku.
Hingga penutup purnama Desember tiba, aku tidak akan menuntut kepada kelam agar ia bersanding dengan awan di langit biru.
Aku akan lebih bahagia bila nanti purnama Desember bertamu kepada senja dan tinggal bersama-sama di mahligai rindu.
***
Puisi: Penantian Lembayung Desember
Apa kabar hujan? Sekumpulan rintik elegi itu mungkin sedang baik-baik saja. Ada yang suka, ada yang duka, juga ada yang cinta.
Ketika langit meredum dan memasygulkan hati para penyendiri, bayang-bayang sederhana akan tetap ceria menanti lembayung. Purnama pasti hadir saban bulan, tapi Desember bisa saja sendu.
Mungkin hati akan lunglai menunggu terbitnya purnama Desember. Itu konyol. Sendiri itu juga adalah kekonyolan jika tanpa sebab.
Untuk apa menanti lembayung Desember ketika hati terus saja memainkan dawai dan umpatan masa lalu.
Tanah mungkin saja sudah terburai bersama syair-syair keluh dan ratapan, kemudian bertumbuh menjadi tunas-tunas nestapa.
“Tidak akan ada lembayung di Desember!”
Siapa yang tahu, sedangkan engkau masih betah dengan kesendirian. Ingin menyajikan romansa dalam kesederhanaan, ternyata tidak semudah tugas matahari mencerahkan bumi.
Tidak ada yang salah dengan penantianmu kepada lembayung Desember. Hujan akan baik-baik saja karena ia akan bertukar kisah dengan senja.
Yakin saja. akan ada kabar baik pada purnama Desember.
***
Puisi: Seorang Pemuda yang Betah dengan Bulan dan Sepi
Satu demi satu dedaunan telah jatuh dan turun ke jalan. Mereka mendatangkan keramaian, juga kesepian bagi para penanti takdir.
Ada berbagai sanggah untuk menyelesaikan sepi. Tiap daun berbeda kisah dan tujuan.
Ranting-ranting tak bisa memaksakan, apalagi menggoyang-goyang. Daun akan jatuh ketika hari itu tiba. Hembusan angin hanya perantara, sedangkan hembusan rasa adalah benarnya.
Seorang pemuda yang masih betah dengan sepi adalah sehelai daun itu. Dia masih betah berdamping dengan ranting.
Dia masih kokoh walau diombang-ambing angin. Dia berdiri sendirian, walau harus berteman dengan sepi.
Sesaat hadirlah bulan. Bulan terbit ketika matahari sedang istirahat. Bulan menemani sepi. Bulan menemani seorang pemuda. Pemuda yang betah dengan bulan dan sepi.
Saban hari, ada saja dedaunan yang menemukan rumah baru. Tapi tidak dengan pemuda yang masih betah dengan sepi.
Dia mungkin ingin menjatuhkan diri ketika melihat dua cincin tergantung di udara. Tapi nanti, belum takdirnya.
Biarlah dia tetap menjadi pemuda yang masih betah dengan sepi. Daripada dia betah dengan keramaian tapi kesepian. Dia daun yang berbeda, tapi punya asa. Bersandar kepada Sang Kuasa.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca juga: Rasa Lelah Penjaga Kalbu
Posting Komentar untuk "Puisi Tentang Bulan, Pemuda, dan Sepi"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)