Yuk! Kita Belajar Lagi Tentang Zakat Fitrah dan Zakat Profesi
Zakat Fitrah dan Zakat Profesi. Diolah dari Sumber foto: Freepik |
Al-Qur’an memandang institusi zakat sebagai kewajiban pokok bagi setiap muslim. Begitu pentingnya zakat, sehingga firman Allah SWT yang berkaitan dengan zakat sering beriringan dan bergandengan dengan kewajiban shalat.
Kalau shalat disebut sebagai “tiang agama”, maka zakat disebut sebagai “tiang masyarakat”.
Bagi setiap masyarakat, zakat dapat membangun suatu masyarakat yang kokoh, yang dilandasi oleh semangat kebersamaan dan persaudaraan.
Apabila kedua fondasi keagamaan yaitu shalat dan zakat ini dilaksanakan dan diamalkan dengan baik dan benar, maka akan tercipta masyarakat yang bertakwa kepada Allah, masyarakat yang adil, rukun, damai, sejahtera, dan hidup dalam kemakmuran.
Zakat yang menjadi kewajiban pada bulan Ramadhan adalah zakat fitrah. Setelah kita menjalankan puasa selama kurang lebih 30 hari lamanya. Maka dibutuhkan suatu amalan yang sekiranya dapat menyempurnakan ibadah puasa tersebut.
Semua itu sudah ditentukan kadarnya oleh agama pada sebagian jenis harta dan telah ditebtukan nisabnya pada harta yang lain.
Begitupun dengan ukuran dan waktunya, semua itu telah ditetapkan. Kita hanya tinggal melaksanakan dan membayar sesuai dengan ukuran zakat fitrah tersebut.
Sama halnya dengan zakat profesi, setiap pekerjaan yang dilakukan dan ditempuh seorang muslim yang beriman ada zakatnya.
Baik berupa profesi guru, petani, pegawai, dan lain sebagainya. Semua sudah diatur dan ditetapkan oleh agama. Berapa ukurannya, kapan waktunya, waktu wajib maupun sunnahnya.
Semua sudah ditentukan oleh syariat islam. Tapi, bisa jadi ada sebagian orang yang mengabaikan tentang zakat profesi, banyak orang lebih tahu dan paham serta melaksanakan zakat fitrah saja.
Hanya orang-orang tertentu yang memahami dan melaksanakan zakat profesi sesuai dengan hkum syara’.
Di sini akan dibahas mengenai seluk beluk zakat fitrah dan zakat profesi, baik mengenai waktu, ukuran, hingga kesalahan-kesalahan yang biasa terjaadi dimasyarakat, sekaligus pertentangan-pertentangan pendapat yang terjadi pada sebagian ulama beserta mazhab-mazhab yang membahasnya.
Zakat Fitrah
Secara bahasa, yang dimaksud dengan fitrah adalah: suci, ciptaan, atau asal kejadian.
Kata fitrah yang juga berasal dari kata al-fithr sama haknya dengan ifthaar yang berarti berbuka puasa dan kata itu datang dari akar kata yang sama yaitu futhuur yang berarti sarapan pagi.
Disebut demikian karena orang yang berbuka adalah orang yang makan sejak pagi.
Kata-kata fitrah ada disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam surat ar-Rum/30 ayat 30 Allah SWT berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Sedangkan yang dimaksud dengan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap muslim sebagai pembersih jiwa dan pribadi, dan juga sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori pelaksanaan puasa, dan tanda berakhirnya pelaksanaan puasa bulan Ramadhan.
Dalam Al-Qur’an surat al-A’laa/87 ayat 14 Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).
Ayat ini menyatakan bahwa beruntunglah bagi siapa saja yang membersihkan dirinya dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, baik dengan zakat maupun amal saleh.
Menurut riwayat Ibnu Umar, Abu Sa’id al-Khudriy, Abu Aliyah dan Ibnu Khuzaimah ayat di atas diturunkan berkenaan dengan zakat fitrah, takbir hari raya puasa dan shalat Idul Fitri.
Zakat fitrah ini berbeda dengan Zakat maal, karena yang dizakati adalah manusia (diri atau jiwa kita) bukan harta atau pendapatan kita.
Zakat fitrah wajib atas setiap orang Islam yang bernyawa, besar kecil, tua muda, laki-laki perempuan, yang “mempuyai kelebihan makanan dari keperluan untuk sehari semalam hari raya”.
Bayi pun, yang lahir sebelum terbenam matahari pada akhir Ramadan, wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa zakat fitrah adalah kewajiban agama agama yang merata kepada orang Islam.
Yang harus mengeluarkan zakat fitrah itu adalah kepada rumah tangga dengan semua orang yang menjadi tanggunngannya, istrinya, anak-anaknya, ibu bapaknya dan mertuanya (bila mereka tinggal dengannya), pembantunya, dan orang yang tinggal bersamanya dan menjadi tanggung jawabnya.zakat fitrah atau zakat jiwa ini dihubungkan dengan bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Karena itu dinamakan juga Zakatul Fitrah.
Zakat fitrah juga diwajibkan terhadap orang miskin, karena yang dizakati itu adalah fitrah atau jiwanya.
Terhadap orang yang sangat miskin dan tidak mempunyai apa-apa, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakan kemudian setelah itu ia tidak mampu maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya.
Dan tidak menjadi kewajiban jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya”. Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan:
“Barang siapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokok untuk malam hari raya dan siang maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu ia harus mengeluarkan bila sisa itu mencapai ukuran.”
Kalau zakat harta hanya diwajibkan kepada orang kaya, maka zakat fitrah diwajibkan kepada semuanya, baik kaya atau miskin.
Syarat Zakat Fitrah
Persyaratan zakat fitrah antara lain:
- Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat fitrah.
- Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan Ramadhan. Anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib fitrah. Orang yang menikah setelah terbenam matahari tidak wajib membayarkan fitrah istrinya yang ia nikahi itu.
- Dia mempunyai lebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang wajib dinafkahiya, baik manusia atau binatang, pada malam hari raya atau siag harinya. Orang yang tidak mempunyai lebihan harta tidak wajib membayar zakat fitrah.
Bentuk dan Ukuran Zakat Fitrah
Menggunakan beras
Menurut sebagian besar ulama, zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok di suatu daerah. Misalnya, jika di daerah A makanan penduduknya berupa jagung, maka jagunglah yang harus dikeluarkan sebagai zakat.
Hal ini juga sudah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang artinya:
“Dari Abu Sa’id ra. ia berkata: kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, atau 1 sha’ kismis (anggur kering). HR. Bukhari dan Muslim.”
Menggunakan uang
Ketika di syariatkannya zakat fitrah, masyarakat Madinah yang memiliki mata uang dinar atau dirham. Kedua mata uang tersebut sudah berlaku sebagai alat tukar penduduk setempat.
Meski begitu, belum dijumpai hadis baik secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan diperbolehkannya zakat fitrah dengan menggunakan uang.
Begitu juga pada masa sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Kalau dijumpai, tentu perkara yang seperti itu dapat menjadi ukuran atau tanda bahwa zakat dengan menggunakan uang itu diperbolehkan.
Demikian pendapat menurut ulama sebagaimana yang diakui oleh Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Dawud.
Alasannya jelas, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihkannya. Nawawi mengatakan:
“Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).”
Pendapat ini juga disepakati oleh Ibnu Qudamah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan lain sebagainya.
Abu Hanifah dalam Al-Mughni memperbolehkan mengeluarkannya dalam bentuk uang yang seniali dengan apa yang wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya.
Pendapat utama itulah yang kuat. Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) member uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki.
Selanjutnya amil tersebut membelikan beras untuk muzakki dan menyalurkannya kepada mustahiq berupa beras, bukan uang. Dengan demikian zakat yang seperti ini diperkenankan.
Namun, sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dengan bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak.
Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahi mengatakan: “boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat”.
Jadi, yang harus diperhatikan disini, ketika memilih pandangan atau pendapat, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga menggampangkan masalah ini.
Ukuran Zakat Fitrah
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung, atas setiap hamba atau tuan, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR. Mutafaq ‘alaihi)”.
Besar harta yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ gandum, kurma atau makanan sehari-hari.
Bila dikonversikan ke bentuk beras menjadi 2,4 kg. Namun sering kita jumpai beberapa masyarakat yang sengaja menggenapkan ukuran zakat ini menjadi 3 kg.
Namun, Abu Hanifah beserta pengikutnya mengatakan bahwa gandum selep cukup 1⁄2 sha’. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan dalam menginterpretasi beberapa hadits.
Hadis dari Abu sa’id al-Khudri:
“Pada masa Rasulullah SAW kami mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha’ makanan, satu sha’ gandum satu sha’ keju satu sha’ kurma atau satu sha’ kismis (anggur). (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Al-Zuhri meriwayatkan hadis dari Abu sa’id daari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Keluarkanah untuk zakat fitrah, satu sha’ gandum selep untuk dua orang, satu sha’ gandum yang belum di selep atau kurma untuk satu orang. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Para ulama mengambil hadist ini sebagai dasar pendapat bahwa gandum selep cukup 1⁄2 sha’.
Ulama yang memahami hadis Abu sa’id secara ekspilisit berpendapat bahwa gandum selep dan non selep sama saja, yaitu tetap satu sha’.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa nishab zakat fitrah bagi orang kaya berbeda dengan nishab bagi orang miskin.
Oleh karenanya orang miskin tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Untuk memperkuat alasannya, mereka mengemukakan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Nasa’i:
“Tidak ada sadaqah/zakat, kecuali dari orang kaya.”
Berdasarkan hadis di atas, yang memiliki nishab hanyalah orang kaya. Sedangkan orang miskin tidak dan karenanya tidak wajib zakat fitrah. Dalam redaksi yang berbeda Abu Daud meriwayatkan:
“Sebaik-baiknya sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang kaya”.
Keumuman hadis shahih yang diriwayatkan dalam mewajibkan zakat fitrah pada setiap muslim, apakah kaya atau fakir.
Oleh karenanya, menurut Yusuf Qhardawi, bahwa Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan kewajiban zakat fitrah ini bagi setiap muslim, kaya atau fakir, pasti memiliki sasaran yang bukan sekedar bersifat materi, akan tetapi sasaran akhlak dan pendidikan.
Dengan sasaran yang demikian, maka akan mendidik si muslim untuk bersedekah baik dalam keadaan miskin maupun dalam keadaan kaya. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT:
“Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran /3/134).
Zakat fitrah dikeluarkan sebanyak 3,5 liter beras atau makanan pokok lain yang diilakukan/dikeluarkan pada penutup puasa pada amalam lebaran sampai sebelum shalat Idul Fitri.
Beberapa aturan mengenai zakat fitrah, sebagai berikut:
- Mengeluarkan zakat fitrah boleh dengan harga biji-bijian (berupa uang).
- Disunahkan untuk memberikan zakat fitrah kepada kerabad dekat yang sangat memerlukannya, kemudian tetangga. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw : “tetangga itu lebih berhak menerima zakat.”
- Dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk harta benda yang khususnya dari berbagai jenis benda yang dapat digunakan untuk membayar zakat sebagaimana tersebut di atas ataupun menggantikannya dengan uang senilai zakat tersebut.
- Diperbolehkan memindahkan zakat fitrah ke negeri lain, jika di negeri tersebut tidak terdapat golongan yang berhak menerima zakat. Jika di negeri setempat masih terdapat yang berhak menerima maka tidak diperbolehkan.
- Diharamkan bagi Bani Hasim untuk menerima zakat fitrah dari selain bani Hasim, tetapi zakat fitrah Bani Hasim dihalalkan untuk bani Hasimdan juga untuk selain Bani Hasim.
- Dan memberikan zakat, disunahkan untuk mendahulukan sanak kerabat, lalu tetangga. Hendaknya pula mendahulukan orang yang berilmu, mulia, dan beragama.
- Diperbolehkan memberikan zakat fitrah hanya kepada suatu golongan saja, dari 8 golongan yang tersebutkan dalam Al-Qur’an, seperti umpamanya orang miskin dan orang fakir atau orang-orang yang berhutang dan seterusnya.
Penanggung Zakat Fitrah
Para ulama sepakat bahwa penanggung zakat fitrah adalah tiap-tiap individu, karena zakat fitrah berbeda dengan zakat harta benda.
Oleh karenanya zakat fitrah sering disebut zakat kepala atau zakat badan. Kata “badan disini bukan berarti lawan dari kata roh atau jiwa” namun badan yang berarti pribadi.
Namun perlu kita catat bahwa istri menjadi salah satu tanggungan suami. Oleh karenanya, walaupun istri wajib mengeluarkan zakat fitrah, adapun niatnya harus dikeluarkan oleh suami.
Menurut mazhab yang empat (kecuali Abu Hanifah), Imam Laits dan Ishaq, bahwa wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat bagi istrinya, karena istri berada dalam tanggungannya dalam hal nafkah.
Jika istri dalam tanggungan suami (muslim) adalah kafir, maka para ulama sepakat bahwa suami tidak wajib mengeluarkan zakat bagi si istri. Begitu juga bagi anak yang belum baligh.
Ayahlah yang harus meniatkan zakat yang akan dikeluarkan bagi si anak.
Adapun jika anaknya sudah baligh, maka ayahnya wajib menuntun atau mengajari anaknya cara mengeluarkan zakat, tanpa harus meniatinya sebagaimana sebelum baligh.
Said bin Musayyad dan Hasan Bisri mengemukakan pendapat bahwa zakat fitrah hanya wajib bagi orang yang berpusa.
mereka beralasan bahwa zakat fitrah bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa, sedangkan yang tidak berpausa tidak wajib. Dalam hal ini, si anak juga tidak wajib berzakat, karena mereka masih suci dari dosa-dosa.
Namun pendapat ini dibantah oleh ulama, karena “mensucikan” itu hanya menunjukkan tujuan umumnya saja, sebagaimana halnya dalam banyak hadis yang menerangkan suatu hikmah untuk kewajiban zakat.
Apabila hikmah zakat dari satu segi untuk mensucikan, maka dari segi lain adalah unutk member kecukupan kepada orang miskin, sehingga hikmah ini berlaku bagi anak kecil maupun orang dewasa.
Tentang amil zakat fitrah, minimal harus memiliki dua persyaratan:
- Mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
- Amanah, benar-benar menyampaikan kepada yang berhak sesuai dengan aturan agama.
Orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Penjelasan ayat tersebut menurut Imam Syafi’i sebagai berikut:
- Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki pekerjaan.
- Miskin, yaitu orang yang mempunyai mata pencaharian namun tidak mencukupi.
- Amil, yaitu panitia yang menerima dan membagikan zakat.
- Mualaf, yaitu orang yang baru masuk islam karena imannya belum teguh. Orang islam yang yang berpengaruh terhadap kaumnya dengan harapan agar orang lain dari kaumnya masuk islam. Orang islam yang berpengaruh dikalangan orang kafir agar kita terpelihara dari kejahatan-kejahatan dibawah pengaruhnya. Dan orang-orang yang sedang menolak kejahatan orang-orang yang anti zakat.
- Riqab, yaitu budak yang ingin memerdekakan diri dengan membayar uang tebusan.
- Gharim, yaitu orang yang banyak hutang, baik untuk diri sendiri atau untuk mendamaikan orang yang berselisih maupun untuk menjamin hutang orang lain.
- Sabilillah, yaitu untuk kepentingan agama.
- Musafir, yaitu orang yang kekurangan perbelakan dalam perjalanan dengan maksud baik, seperti menuntut ilmu, menyiarkan agama dan sebagainya.
Waktu Wajib dan Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Zakat fitrah diberikan kepada mustahiq pada malam satu syawal hingga khatib shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar dan boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu.
Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah yang artinya “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan.(HR. Tirmidzi dan Malik)”.
Menurut hadis di atas, waktu penyerahan atau pembayaran zakat fitrah adalah di akhir bulan Ramadhan, dengan kata lain mendekati satu syawal. Namun, hal ini belum tentu luput dari penetapannya.
Tidak jarang kita temukan fenomena hari raya yang berbeda antara daerah, sampai Negara.
Dalam hal ini, seseorang tentu sangat diharuskan melaksanakan ibadah sesuai dengan apa yang diyakininya. Pada dasarnya, semua hal yang berkaitan dengan keyakinan itu harus berjalan.
Sebagaimana telah diketahui, waktu wajib zakat fitrah adalah sewaktu matahari terbenam pada malam hari raya.
Sungguhpun begitu, tidak ada halangan bila dibayar sebelumnya, asal dalam bulan puasa. Berikut akan diterangkan beberapa waktu dan hukum membayar fitrah pada waktu itu.
- Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari awal Ramadhan sampai hari penghabisan Ramadhan.
- Waktu wajib, yaitu mulai terbenamnya matahari penghabisan Ramadhan.
- Waktu yang l yebih baik (su nah), yaitu dibayar sesudah shalat subuh sebelum pergi shalat hari raya.
- Waktu makruh, yaitu membayar zakat fitrah sesudah shalat hari raya tetapi sebelum matahari terbenam pada hari raya.
- Waktu haram, yaitu dibayar setelah terbenamnya matahari sesudah hari raya.
Keterangan tentang waktu mengeluarkan zakat fitrah, yakni sebelum menunaikan shalat hari raya.
Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa waktu mengeluarkan zakat fitrah adalah ketika terbit fajar pada hari raya sebab pada waktu tersebut telah dapat menentukan keberadaan fithr (tidak berpuasa) yang sebenarnya dan berdekatan dengan hari raya.
Oleh karena itu, waktu wajib peunaian zakat fitrah tidak boleh mendahului hari raya tersebut.
Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah ketika terbenam matahari dihari terakhir bulan Ramadhan.
Hal ini karena fithr (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan tidak akan terjadi kecuali setelah terbenamnya matahari dihari terakhir bulan Ramadhan tersebut.
Fukaha Madzhab al-Syafi’i memahami kata “Yaumul Fitri” yang artinya “hari Idul Fitri”.Dalam informasi hadits tersebut adalah “sepanjang hari”.
Pengertian sepanjang hari berarti sejak matahari terbit sampai terbenam. Implikasi hukumnya adalah bahwa menyerahkan zakat fitrah setelah shalat Idul Fitri masih diperbolehkan, hanya saja makruh hukumnya.
Sedangkan menyerahkan zakat fitrah sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri merupakan waktu terbaik dan memenuhi kesunahan.
Adapun menyerahkan zakat fitrah sampai lewat hari Idul Fitri dipandang sebagai perbuatan dosa, sekalipun wajib tetap dilaksanakan dengan status sebagai qadha.
Manfaat Zakat Fitrah
Manfaat pemberian zakat fitrah, antara lain:
Mempererat hubungan antara si kaya dengan si miskin.
Agar tidak terjadi kejahatan dari orang-orang miskin dan susah yang dapat merusak ketertiban masyarakat. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 180:
"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Guna membersihkan diri, sesuai dengan firman Allah SWT surat Al-Taubah ayat 103:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui."
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Menyempurnakan amalan-amalan di bulan Ramadhan.
Mendidik untuk menjadi jiwa pemurah, pengasih, penyayang, dan saling mencintai sesama mukmin.
Meringankan beban fakir miskin dan orang-orang yang sangat membutuhkan, di samping itu juga memberikan kegembiraan dan kesenangan kepada mereka, di saat semua orang merasakan gembira berhari raya Idul Fitri.
Membersihkan jiwa seseorang menjadi suci kembali seperti bayi yang baru lahir.
Menghapuskan semua perbuatan tidak baik yang pernah dilakukan, dan berupaya untuk selalu mengerjakan kebaikan.
Sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan.
Manfaat diwajibkannya zakat fitrah, di samping apa yang telah dikemukakan di atas, adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan yang mendesak, menyangkutnya hajat hidup.
Oleh karena itu, pemberian zakat fitrah sifatnya adalah konsumtif.Sedangkan tujuan yang lebih luas adalah membebaskan kaum dhu’afa dari kemiskinan.
Zakat Profesi
Zakat Profesi. Dok. Penyemangatguru. |
Sebelum memberikan definisi tentang zakat profesi, terlebih dahulu harus diketahui apa yang dinamakan profesi itu sendiri.
Kata profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan.
Jadi profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia.
Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, namun tidak setiap pekerjaan adalah profesi.
Seorang petugas staf administrasi bisa berasal dari berbagai latar ilmu, namun tidak demikian halnya dengan akuntan, pengacara, dan dokter yang membutuhkan pendidikan khusus.
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dan keahlian khusus yang tidak didapatkan pada pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.
Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat.
Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat.
Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan berkaitan dengan pelaksanaan profesi tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang harus dikeluarkan atau dibayar terhadap hasil profesi atau usaha seseorang.
Artinya semua pemasukan dari hasil profesi, yang bentuk bisa berupa gaji, upah, honor, insentif, dan sebagainya, baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat tidak tetap (temporer), baik yang diterima perminggu, perbulan, atau sewaktu-waktu, semuanya wajib dizakati.
Dasar hukum tentang kewajiban zakat profesi memang tidak disebutkan secara eksplisit. Tapi dapat dipahami dan firman Allah antara lain dalam surat al-Baqarah/2 ayat 26:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”
Perhitungan Zakat Profesi
Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishab dan kadar zakat profesi, yang dikemukakan oleh beberapa ulama kontemporer, berikut masing-masing pendapat yang dikemukakan tersebut:
Menganalogi (meng-qiyas-kan) secara mutlak dengan hasil pertanian, baik nishab maupun kadar zakatnya.
Dengan demikian nishabnya adalah setara dengan nishab hasil pertanian yaitu 652,5 kg beras (hasil konversi Wahbah Az-Zuhaili), kadar yang harus dikeluarkan 5% dan harus dikeluarkan setiap menerima.
Menganalogi nisbahnya dengan hasil zakat pertanian, sedangkan kadar zakatnya dianalogkan dengan emas yakni 2,5%.
Hal tersebut berdasarkan atas qiyas atas kemiripan (qiyas syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni berupa:
Model memperoleh harta tersebut mirip dengan panen hasil pertanian. Dengan demikian maka dapat diqiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal nisbahnya.
Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan adalah berupa mata uang. Oleh sebab itu, bentuk harta ini dapat diqiyaskan dengan zakat emas dan perak dalam hal kadar yang harus dikeluarkan yaitu 2,5%.
Sebagai contoh, jika gaji atau penghasilan seorang pegawai di sebuah perusahaan adalah Rp. 5.000.000,- per bulan.
Setelah dipotong biaya hidup sehari-hari seperti biaya dapur, pendidikan, kesehatan, listrik, pembayaran uutang dan kebutuhan pokok lainnya ternyata masih tersisa Rp. 2.500.000,- jika dikalkulasikan, dalam setahun ia mendapat Rp. 2.500.000,- x 12 = Rp. 30.000.000,-
Nishabnya zakat profesi adalah setara harga 94 gram emas murni 24 karat. Jika harga emas murni 24 karat per gram adalah Rp. 300.000,-, maka nishabnya zakat profesi adalah Rp. 28.200.000,-.
Dengan demikian, gaji pegawai tersebut sudah mencapai nisab dan ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% x Rp. 2.500.000,- = Rp. 62.500,- jika dikeluarkan per bulan, atau 12 x 2,5% x Rp. 2.500.000,- = Rp. 750.000,- jika dikeluarkan per tahun.
Para ulama mempersoalkan apakah zakat profesi dan pencaharian terikat pada haul (cukup satu tahun) atau tidak. Demikian juga mengenai nisabnya, terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat pertama mengatakan, harus cukup satu tahun, begitu sampai satu tahun baru diperhitungkan zakatnya.
Zakat yang diperhitungkan adalah sisa atau kelebihan dari kebutuhan setiap bulannya, sebab pegawai negeri swasta menerima gaji sebulan sekali.
Umpamanya si A pegawai negeri atau swasta mempunyai penghasilan rp/ 500.000,- dia hidup dengan 6 orang dalam satu keluarga.
Keperluan pokok Rp 300.000,-
Tansportasi Rp 90.000,-
Listrik dll Rp 50.000,-
Rp 440.000,-
Penerimaan Rp 500.000,-
Pengeluaran Rp 440.000,-
Sisa Rp 60.000,-
Penghasilan satu tahun, 12 x Rp 60.000, = Rp. 720.000,-
Berdasarkan perhitungan di atas si A tidak wajib zakat, karena dia tidak sampai nisab.
Selanjutnya contoh lain, yaitu mengenai zakat pertanian. Zakat biji-bijian seperti padi sudah sampai senisab apabila sudah mencapai 750 kg, zakatnya 5% atau 10%.
Umpamakan harga gabah Rp 400, maka harga padi = 750 x Rp 400 = Rp. 300.000,- zakat pertanian harus dikeluarkan zakatnya setiap kali panen.
Hal ini berarti, para petani sudah wajib mengeluarkan zakat sebesar: 5% x Rp 300.000,- = Rp 15.000,- atau 10 % x Rp 300.000,- = Rp 30.000,-
Kalau padi dinilai dengan uang, maka batas minimal nisabnya adalah Rp 300.000. Dasar kita berpegang pada ayat 267 surah Al-Baqarah yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”
Para pegawai, mereka panen setiap bulan dan yang diterimanya adalah uang. Batas minimum nisab setiap bulan (analogi kepada petani) adalah Rp 300.000 dia mengeluarkan zakat = 2,5% x Rp 300.000 = Rp 7.500.
Dengan demikian harta yang diperoleh benar-benar sudah bersih dan cara perhitungannya juga sudah tidak sukar lagi seperti menentukan kebutuhan setiap bulannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat pencaharian dan zakat profesi, tidak usah menunggu satu tahun, tetapi setiap bulan bagi pegawai dan setiap mendapat penghasilan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, seperti melukis, grup musik setiap kali tampil, grup pelawak, dan sebagainya.
Seperti yang telah dikemukakan datas bahwa batas minimal nisabnya adalah Rp. 300.000.
Hal ini tentu sangat bergantung kepada harga benda (padi dan lain-lain) yang kita jadikan standar mungkin hargana turun naik.
Masalah yang amat penting adalah ghairah diniyyah (semangat menghidupkan agama), sehingga pengeluaran zakat itu dipandang tidak sebagai beban namun hatinya sudah menyeluruh demikian, karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta merasa berbahagia apabila dapat melaksanakan perintah-Nya.
Bagi pegawai yang mengeluarkan zakat setiap bulan, berarti ia telah mengangsur (mencicil) pengeluran zakatnya sehingga tidak memberatkan.
Sebab kalau berbicara soal uang: “sedikit, cukup, banyak pun habis” kata orang.
Demikian sikap dan tindakan yang paling aman adalah mengeluarkan zakatnya setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasillan.
Perbedaan pendapat hanya pada waktu wajib zakat, yaitu tentang persyaratan haul.
Menurut Imam Abu Hanifah; Mal Mustafad tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun ditangan pemiliknya, kecuali apabila pemilik mempuyai harta sejenis yang pada pemulaan tahun sudah mencapai satu nisab, maka malharta yang sudah ada setelah harta yang sudah ada itu mencapai satu tahun.
Menurut Imam Malik; Mal Mustafat tidak dizakati sebelum sempurna setahun, baik si pemilik mempuyai harta yang sejenis atau pun tidak, kecuali binatang ternak.
Kalau mal mustafad itu binatang ternak sedangkan si pemilik mempuyai binatang sejenis, maka mal mustafad binatang ternak itu mengikuti tahunnya binatang ternak yang ada.
Menurut Imam Asy-Syafi’i; Mal mustafad tidak dizakati sebelum setahun, meskipun si pemilik mempuyai harta yang sejenis, kecuali anak ternaknya sendiri, maka mal mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri dizakati mengikuti induknya.
Menurut Idnu Hasim; Mengkritik penafsiran 4 ulama tersebut dan ia menyatakan pendapat-pendapat tersebut tanpa dalil sama sekali.
Menurut beliau, semua harta itu disyaratkan setahun, baik mustafad maupun tidak, baik anak binatang maupun tidak.
Menurut Imam Daud As-Zahiri; Mal mustafad wajib zakat tanpa syarat sampai setahun.
Menurut Imam Yusuf al-Qardawi; Mal mustafad seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasil modal di luar perdagangan, pesewaan mobil, perahu, penerbangan, hotel, tempat hiburan dan lain sebagainya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sesampainya setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapat tersebut.
Pendapat Ulama Mengenai Zakat Fitrah dan Zakat Profesi
Imam Syafi’i berkata: seseorang juga harus menzakati budak yang dia miliki atau berada ditempat lain, namun ada harapan untuk kembali, sebab budak itu masih menjadi miliknya.
Demikian juga dengan budak yang akan merdeka pada saat yang ditentukan dan budak yang digadaikan.
Mereka harus dizakati fitrah, kecuali budak itu kafir, maka orang itu tidak harus membayarkan zakat fitrah, karena zakat fitrah tidak mensucikan orang yang kafir.
Imam Syafi’i berkata: orang gila dan anak kecil, zakat fitrahnya atas walinya. Wali juga harus mengeluarkan fitrah untuk orang yang menjadi tanggung jawab orang gila itu.
Orang yang sehat akalnya harus mengeluarkan zakat fitrahnya sendiri.
Jika seseorang memasuki bulan Syawal dan memiliki makanan yang cukup untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan makanan itu cukup untuk menjadi zakat fitrah bagi dia dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka dia harus mengeluarkan zakat fitrah bagi dia sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya itu.
Jika makanan itu hanya cukup untuk zakat fitrah sebagian orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka dia harus mengeluarkannya sebagai zakat fitrah untuk orang itu.
Jika makanan itu hanya cukup untuk dimakan dia sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka dia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah baik untuk dia sendiri maupun mereka.
Imam Syafi’i berkata: orang yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak mempunyai makanan apa-apa untuk dijadikan zakat fitrah, maka dia tidak usah meminjam demi membayar zakat fitrah.
Tak dapat kita pungkiri bahwa banya pendapat-pendapat yang kadang berbeda mengenai zakat profesi.
Yang perlu kita lakukan adalah menggunakan pendapat yang kita yakini demi mengatasi perdebatan yang tak ada hentinya nanti.
Semoga bermanfaat.
Baca juga: Jumlah Ayat Quran 6666 atau 6236?
Taman Baca:
Ahmadi, Abu dan Abdullah. (1992). Kamus Pintar Agama Islam. Solo: CV Aneka.
Ali, M. Hasan. (2003). Masail Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cahyanto, Ahmad. (2010).Fikih Ramadhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Hamid, Syamsul Rijal. (1990). Buku Pintar Tentang Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Muhammad, Ibrahim Jannati. (1985). Durus fi al-Fiqh al-Muqaram. Iran: Qum.Muhammad, Imam Syafi’i Abu Abdillah bin Idris. (2007). Muhktashar Kitab Al Umm fi al-Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Muiz, Abdul bin Nur dan Arief Hidayat. (2011). 103 Kesalahan Zakat dan Bersedekah. Jakarta: Basmalah.
Pernomo, Syekhul Hadi. (1992). Sumber-sumber Penggalian Zakat. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Rahman, Taufik. (2001). Hadis-hadis Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Rasjid,Sulaiman. (1995). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Aglensindo.
Rifa’i, Moh. (tt). Ilmu Fiqh Lengkap. Semarang: Karya Putra Toha.
2 komentar untuk "Yuk! Kita Belajar Lagi Tentang Zakat Fitrah dan Zakat Profesi"
https://www.netvibes.com/subscribe.php?url=https%3A%2F%2Fkata-h.blogspot.com%2Ffeeds%2Fposts%2Fdefault
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)