Titip Uang Kepada Teman Tidak Bertambah, Saat Titip Kata-Kata kok Bertambah, Ya?
Gambar diolah dari canva. Ozy V. Alandika |
Kenapa bisa begitu? Sungguh aneh tapi nyata, dan kenyataan itu tidak aneh lagi kalau kita sandarkan judul tulisan ini kepada manusia.
Berbicara tentang titip-menitip sesuatu kepada seorang teman, tetangga atau siapa saja, kiranya hal ini sering kita lakukan.
Menitip barang misalnya.
Mungkin di suatu hari tertentu kita mau pesta sehingga barang-barang mebel di rumah harus dititipkan ke tetangga sebelah.
Pertanyaannya, apakah barang-barang tersebut akan beranak-pinak?
Tidak mungkinlah, ya. Barang tersebut tetap utuh (semoga saja), malahan si tukang nitip yang memberi hadiah kepada sang tetangga. Bisa berupa sebungkus rendang, sepiring lontong sayur, atau ayam pramuka. Haha.
Sama halnya dengan barang, kegiatan menitip uang dan emas juga begitu.
Beberapa bulan yang lalu aku sempat membaca story WA yang diunggah oleh rekanku, Ilham Akbar. Isinya unggahannya tidak jauh dari judul tulisan ini, hingga akhirnya aku pun tertarik menulisnya.
Mengapa saat kita menitip uang kepada teman, uang itu tidak bertambah?
Yang jelas, itu adalah salah satu perwujudan dari amanah. Baik uang atau barang, berapapun nominalnya, saat kita menitipkannya kepada teman, maka saat itu pula kita telah mempercayakan mereka.
Gambar oleh Mohamad Trilaksono dari Pixabay. |
100K, 200K, atau 500K, berapapun tak masalah. Yang bermasalah adalah, kalau kita menitipkan uang kepada teman, dan uang itu bertambah dengan sendirinya. Lha, riba dong?
Bisa jadi, tapi itu persoalan lain. Ialah ketika kita meminjamkan uang, dan kita berharap uang itu beranak. Hemm.
Jangan sampai begitu, ya. Ketika uang itu tak beranak-pinak dan tidak berbunga, maka beruntunglah kita. selamatlah kita.
Tapi, sadarkah kita, mengapa saat kita menitipkan kata-kata kepada seorang teman atau orang lain, kata-kata itu jadi bertambah banyak? Ahay, agaknya aku mulai menyerempet ke arah gunjing dan umpat, nih. Hohoho.
Yang jelas, kalaulah kata-kata itu tidak berkembang saat sudah sampai di telinga orang lain, kita tidak akan pernah mengenal istilah mulut ember, mulut baskom, hingga mulut gentong. Atau, ada sebutan mulut-mulut lain menurut versimu sendiri? Jika ada, suguhkan deh di kolom komentar.
Gambar oleh Ryan McGuire dari Pixabay |
Untuk menjawab pertanyaan ini, rasanya kita perlu membahas tentang lidah. Ya, salah satu organ tubuh ini sangat berjasa dan jadi penentu berkembangnya suatu kalimat. Lidah tak bertulang, begitulah ungkapan yang sering kita dengar.
Karena tidak bertulang, terkadang lidah seringkali menyambar berita positif jadi negatif, menyambar berita negatif jadi positif, dan begitu seterusnya. Maka dari itulah, menitipkan amanah kepada lidah bukanlah perkara mudah. Apalagi ini tentang aib. Widih, malah bahaya.
Mau dicoba? Jangan, ya. Kita hadirkan sebuah permisalan saja tentang begitu berbahayanya sebuah lidah.
Misal, Si A menitipkan amanah kepada Si B berupa ungkapan kata-kata bahwa diri Si A sedang bahagia karena sudah naik jabatan. Nah, kebahagiaan Si A ini bisa menimbulkan beragam makna bagi Si B, kan?
Tentu saja, dalam hati Si B biasanya akan hadir berbagai macam persepsi. Mungkinkah Si A naik jabatan dengan cara yang baik? Mungkinkah Si A tidak menggunakan link-link internal alias menjilati pemimpin?
Pasti ada berbagai kemungkinan yang berkeliaran di hati dan pikiran Si B sebagai orang yang dititipkan kata-kata. Wajar, kan? Jelas, setan tidak akan tinggal diam. Terlebih lagi hati ini adalah organ yang suka dibolak-balik oleh Allah. Sejadinya, kekuatan imanlah yang berbicara.
Meski demikian, masalahnya adalah, bagaimana jika suatu hari Si B bertemu dengan teman-temannya. Ada Si C, Si D sampai Si Z. Kalau Si B mau bercerita kepada teman-temannya tentang kebahagiaan Si A, apakah ada jaminan bahwa topiknya tidak akan merembes ke mana-mana?
Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay |
Wallahua’lam. Kukatakan lagi, lidah memang benar-benar tak bertulang. Kata-kata bisa bertambah, bisa dikurangi, dan bisa dijelek-jelekkan sesuai keinginan. Darinya, perkataan yang seharusnya benar malah jadi salah, yang baik malah jadi buruk, dan yang buruk malah makin buruk.
Akhirnya, ada pelajaran berharga yang bisa kita petik di sini. Pertama, janganlah mengumbar kata-kata yang sia-sia. Kedua, janganlah lalai atas amanah. Ketiga, jangan biarkan lidah bertindak semaunya. Dan keempat, takutlah kita kepada Allah.
Ada hadis mengatakan bahwa, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka bicaralah yang baik atau diam.” HR. Bukhari.
Hadis ini seakan menguatkan kepada manusia bahwasannya perilaku diam itu sangat baik dan mahal, bahkan disejajarkan dengan emas. Diam itu emas. Tapi, tidak selamanya diam itu selalu yang terbaik. Diam untuk hal yang buruk, oke. Tapi diam untuk kebaikan, jangan.
Jadi, sangat penting bagi seorang hamba untuk tidak memberanakkan kata-kata yang sudah diamanahkan kepadanya. Lidah itu berbahaya. Sikap untuk menjaga lidah adalah salah satu sikap yang mengantarkan kita kepada keselamatan.
Tertuang dalam hadis Shahih Bukhari nomor 6003 dalam kitab Fathul Bari’Ibnu Hajar:
Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu'aim] telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari [Amir] mengatakan, aku mendengar [Abdullah bin Amru] mengatakan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Muslim yang sempurna adalah yang muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang."
Kita tentu mau menjadi muslim yang sempurna, bukan? Tentu saja. Maka darinya, hati-hatilah kita dalam menggunakan lidah. Lidah memang tak bertulang, tapi jangan pula kita ajari lidah agar senantiasa bersilat.
Ucapkanlah yang baik-baik, dan jika amanahnya segitu, sampailah dengan cukup segitu saja. jangan ditambah, jangan dikurang, dan jangan digali-gali lebih jauh lagi. Jika itu aib, maka bisa celakalah kita.
Posting Komentar untuk "Titip Uang Kepada Teman Tidak Bertambah, Saat Titip Kata-Kata kok Bertambah, Ya?"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)